Oleh. Piter Ruman*
Untuk menelisik polemik tentang Tenaga Kontrak Daerah (TKD), kita perlu mengacu pada payung hukum yang mengatur dua subyek hukum yang berbeda. Kontrak kerja yang berlaku bagi TKD tentu tidak sama dengan pengertian PKWT sebagaimana dalam UU No. 13 Tahun 2003.
Contoh, ketentuan batas kontrak dalam UU Ketenagakerjaan itu tidak boleh lebih dari tiga tahun. Kemudian, suatu kontrak apabila diperpanjang maka tidak boleh lebih lama dari kontrak pertama. Mari kita lihat prakteknya dalam kontrak TKD. Ada TKD yang bahkan masa kontraknya sudah berjalan 10 tahun lebih. Apakag ini melanggar peraturan? Tidak! Karena bukan UU No. 13 Tahu 2003 yang menjadi landasan hukum kontrak itu dibuat.
Tentang hak dan kewajiban yang menyertai dua subyek hukum ini pun sebagian sama tapi sebagian juga beda. Karena bedanya status hukum para pihak yg menjadi “partner” dalam kontrak. Soal jenis pekerjaan yang menjadi dasar dibuatnya sebuah kontrak kerja itu pun sangat debatable.
Misalnya, merujuk pada UU Hubungan Industrial (HI) pekerjaan itu sifatnya tertentu dan dikerjakan dalam kurun waktu tertentu dengan spesifikasi tertentu pula. Para pihak yang bersengketa dalam soal ini pun selalu beda tafsir. Pengalaman penulis, dalam kasus seperti ini buruh selalu kalah apabila gugatannya menyangkut soal ini.
Kemudian, pengertian Tenaga Konorer Daerah atau TKD adalah pegawai tidak tetap yang diangkat oleh pejabat pembina berwenang berdasarkan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang No. 43 tahun 1999 tentang perubahan atas UU No.8 Tahun 1974 tentang Pokok Pokok Kepegawaian.
Jadi, tenaga honorer tidak dapat di maknai sebagai tenaga kerja/buruh sebagaimana disebutkan dalam UU No. 13 Tahun 2003. Jadi, payung hukumnya pun tentu saja berbeda. Ini bukan penafsiran tapi demikian yang tersurat.
Dalam UU tentang Jaminan Sosial No. 40 Tahun 2004 mengatur tentang jaminan sosial untuk seluruh warga negara indonesia. Jadi, ada UU yang berbeda juga. Bukan berarti yang satu menjadi bagian dari yang lain. UU No.13 Tahun 2003 berdiri sendiri dan mengatur subyek tertentu demikian pula halnya dengan UU yang lain. Dengan kata lain, UU tentang jaminan sosial bukan khusus untuk pekerja sebagai mana dalam UU Ketenagakerjaan tapi untuk semua warga negara.
Soal besarnya upah tenaga honorer itu ditentukan oleh penyelenggara pemerintahan. Bahwa penetapan itu berdasarkan UMP dan atau UMK itu soal lain. Sifatnya tidak mengikat. Apakah gaji TKD boleh lebih besar dari UMP/UMK? Jawabnya boleh. Apakah upah buruh itu boleh rendah dari UMP/UMK? Jawabnya juga boleh, sepanjang alasan untuk itu bisa diterima dan mendapat persetujuan pemerintah. Apakah ada asosiasi TKD yang mewakili dalam proses pembahasan upah? Tidak ada. Pemerintah dalam proses tripartit itu adalah amanah UU No. 13 Tahun 2003. Dia tidak dalam kapasitas mewakili TKD. Pemerintah dalam kapasitas mengambil kebijakan atas apa yang diusulkan oleh buruh dan pengusaha.
Mari kita lihat dari perbedaan istilah “tidak tetap” dari yang diatur menurut UU No. 13 Tahun 2003 dan UU No. 43 tahun 1999 ini. Dalam UU No. 13 Tahun 2003, PKWT atau peraturan ketenagakerjaan diatur secara jelas kurun waktunya. PKWT hanya boleh dilakukan paling lama 2 tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 kali untuk jangka waktu 1 tahun (pasal 59 ayat 4 UU No. 13 tahun 2003).
Karena UU ketenagakerajaan tidak diberlakukan untuk TKD maka meskipun TKD bekerja sudah lebih dari 3 tahun tidak dianggap sebagai melanggar ketentuan. Karena rujukannya bukan UU No.13 tahun 2003. Dari penjelasan singkat ini, kita dapat menyimpulkan bahwa TKD bukan Buruh sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003. Oleh karena itu mempersoalkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) TKD dengan dalil diambil dari UU No.13 Tahun 2003 adalah sebuah kekeliruan.
Penulis menghargai pandangan yang berbeda. Karena berbeda itu memang indah. Namun dalam hal pemotongan gaji TKD sebagaimana dilakukan oleh pemerintah Manggarai Barat, patut dikritisi. Hanya saja pendekatannya harus melalui ruang hukum untuk menguji apakah kebijakan refocusing itu bisa dibenarkan menurut hukum? Bukankah refocusing itu justru membuka ruang praktek korupsi yang besar?
Pemerintah boleh dinilai tidak adil dalam hal ini. Sejak UU No. 5 Tahun 2014 ditetapkan, pemerintah sebenarnya membuat “lubang baru yang berpotensi terjadi pelanggaran hak dasar manusia sebagaimana amanat UUD 1945. Satu sisi UU baru ini menutup praktek-praktek buruk tata kelola pemerintahan daerah khususnya mempolitisasi tenaga honorer serta proses penyerapan yang tidak tepat sasaran, tetapi pada sisi lain UU ini tidak memberikan solusi, bagaimana nasib TKD yang sudah mengabdi.
Memang dalam pasal peralihannya menyebutkan bahwa ketentuan yang lama masih tetap berlaku sejauh tidak bertentangan dengan UU ini. Tapi mari kita lihat, apakah ketentuan lama bertentangan dengan UU baru tersebut? Jawabnya bertentangan. Artinya, mempekerjakan TKD pasca UU ini berlaku adalah ilegal. Siapa yang bertanggung jawab? Ya, pemerintah yang mempekerjakan mereka.
Kenapa dibilang ilegal? Karena sudah tidak ada payung hukumnya. Selanjutnya, pemerintah menyadari persoalan ini sehingga kemudian mengeluarkan PP 49 Tahun 2018. Tetapi PP ini hanya mengatur instrumen soal waktu dan teknis yang tidak substantif seperti pertanyaan apa payung hukum yang melindungi TKD?
Payung hukum TKD sebenarnya tetap ada, tapi bukan merujuk pada UU No. 13 Tahun 2003, melainkan hukum yang lebih tinggi dari UU itu sendiri yaitu Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Dari piramida hokum, tentu kita semua paham UUD 1945 adalah pengejawantahan Pancasila yang tertinggi. Hanya saja, sekali lagi, karena ini persoalan hukum maka pendekatan melalui mekanisme hukum jugalah jalannya. Kalaupun ada keinginan pendekatan secara politis, bisa saja, tetapi itu dilakukan pada tingkat pusat bukan daerah. Hanya sedikit ruang yang dimiliki Pemda untuk menyelesaikan persoalan seperti ini.*
Penulis adalah praktisi hukum tinggal di Tangerang