Pesan Pendek untuk Alm. Frans Sales Lega - FloresMerdeka

Home / Sudut Pandang

Senin, 14 Desember 2020 - 15:15 WIB

Pesan Pendek untuk Alm. Frans Sales Lega

Kanis Lina Bana

Pesan Pendek untuk Alm. Frans Sales Lega (1)

Oleh;  Kanis Lina Bana*

Tidak bermaksud mengusik tidur panjangmu di alam sana,  Kraeng Tua. Saya hanya ingin menumpahkan sepotong kegelisahan yang terus saja mengendap-endap dalam nubari saya. Tentang pesan sahajamu. “Tanah serong dise empo, mbate dise ame Manggarai. Lebih khusus lagi tanah di perbatasan dengan Kabupaten Ngada.

saya perlu sampaikan ini. Tentang lahirnya Permendagri No. 55 Tahun 2020. Permendagri tersebut, tindaklanjut Berita Acara Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat No. No. BU.314/44/BPP/2019, tanggal 14 Mei 2019 lalu. Isinya tentang usulan geser pilar batas wilayah Manggarai Timur dengan Ngada.

Saya dengar langsung proses sosialisasi Permendagri No. 55 Tahun 2020 itu. Berlangsung di Aula Kantor DPRD Manggarai Timur. Pesertanya anggota DPRD Manggarai Timur. Turut mendengarkan sosialisasi itu sejumlah perangkat OPD  Setda Manggarai Timur dan beberapa undangan lainnya.

Sudikiranya Kraeng Tua setia mendengarkan kegelisahan saya ini. Karena caramu mendengar jauh lebih kuat dan bermartabat. Meski raga tak berpapasan. Tetapi saya percaya   jiwamu tetap ada untuk tanah asal. Tanah Manggarai. Karena itulah saya menumpahkan kegelisahan ini kepada Kraeng Tua.

Jujur. Saya  tidak pernah  bersua wajah dengan Kraeng Tua. Hanya   mengenal  lewat foto. Juga cerita guru di SDK Waelengga. Meski demikian. Saya yakin, Kraeng Tua sedang mendengarkan pesan pendek ini. Karena pesan ini sangat penting dan mendesak  untuk saya sampaikan. Sebagaimana pernah Kraeng Tua, ingatkan sebelum pamit menuju alam sana. Yang selalu dikabarwartakan para penerusmu ketika berurusan dengan batas wilayah.  Tentang  tanah adalah martabat. Soal garap dan memiliki tanah, itu soal lain.  Tetapi batas tanah adalah harga diri. “Jangan kamu khianati apa yang telah ditetapkan leluhurmu!

Awasan itulah yang mendorong saya mengirim pesan ini.  Lebih dari itu. Inilah butir doaku merayakan peradaban. Cara saya merawat marwah agar tidak gagap ketika berhadapan dengan penguasa penjajah tanah batas.

Saya  mulai  “kenal  dekat” dan  “mengakrabi” Kraeng Tua saat membolak-balik naskah-naskah notulen rapat di rumah  anak sulung Kraeng Tua di belakang Hotel Manggarai di Ruteng, Ibukota Kabupaten Manggarai, Flores, NTT. Awal  tahun 2006 lalu. Rumah papan nan sederhana. Cat hijau lumut. Warna cat  kusam diserap dingin. Ruang tamu tanpa banyak foto.Hanya satu dua dengan ukuran sedang. Foto Kraeng Tua ada di dinding ruang tamu itu juga. Foto hitam putih. Gagah perkasa. Lengkap dengn atribut pejabat Negara.

Saat itu saya sedang riset kecil-kecilan dalam rangka  menulis buku, bertajuk,  “Makna Bertapak, Jejak Langkah Membangun Manggarai!” Hampir seharian   saya berada di rumah itu. Putera sulung Kraeng Tua, Audax Lega, tidak keberatan. Saya  diperkenankan  bolak-balik berkas dan surat-surat di rumah itu.  “Silakan cari sendiri. Saya juga tidak tahu apa isinya,” ujar Audax,

Setelah mendapat izin. Saya mulai bolak-balik kertas-kertas itu. Ada beragam pengetahuan yang saya peroleh. Saya  akhirnya mengerti betapa Kraeng Tua menampilkan  tipe  pemimpin yang sungguh memberikan sisa-sisa hidup untuk tanah asal, Tanah Manggarai.  

Dari sekian banyak sisa-sisa  potongan  surat dimakan rayab. Saya tergoda dengan tulisan tangan notulen rapat di  Aimere, 20 Januari 1973. Mengapa saya tergoda?  Pertama, tulisannya rapih. Huruf tali. Miring dan teratur. Kedua, notulen itu cukup tebal, 15 halaman. Ketiga, godaan utama saya. Kepala surat notulen rapat.  Pertemuan Aimere, 20 Januari 1973. Dalam kurung penyelesaian  persengketaan perbatasan antara Kabupaten Manggarai dan Kabupaten Ngada.

Temuan “sejarah” ini menghentakan saya. Sebab dua bulan sebelumnya.  Setelah Bupati Manggarai, Drs. Christian Rotok mengeluarkan Keputusan No. Pem.135/22/I/2006, tanggal 23 Januari 2006. Tentang usulan pemekaran Manggarai dan pembentukan Kabupaten Manggarai Timur. Muncul tanggapan dari DPRD Ngada. Tepatnya, seminggu  setelah Bupati Christian Rotok mengeluarkan keputusan itu.  Ketua DPRD Ngada, Thomas Dolo Radho mengeluarkan surat No. 173/DPRD/25/I/2007.  Isinya  peninjauan kembali batas wilayah Manggarai dengan Ngada.

Temuan awal di rumah putera sulung Kraeng Tua, semakin diperkaya lagi. Ketika saya riset di Mbaru Belek- dekat Gereja Kristus Raja. Anak Kraeng Hamboer, Tonce Hamboer menemani saya. Saya lengkapi lagi. Saya sambung potongan-potongan kertas terlepas yang saya temukan di dua rumah itu. Saya dapat naskah lengkapnya. Saya dalami notulen rapat setebal 15 halaman kertas folio itu.

Dari awal kata saya pelajari. Betapa indah pertemuan pukul 16.00 Wita itu. Agung dan bermartabat. Sebab dalam nuansa kebersamaan dan kekeluargaan, Bupati Frans Sales Lega dan Bupati Yan Yos Botha mengurai persoalan yang sesungguhnya. Berjumpa kesepahaman dalam asas beradab dan bermartabat.

Berawal dengan  peta topografi. Pemerintahan Kabupaten Ngada memiliki peta tahun 1916. Sedangkan Manggarai ada  peta tahun 1918.  Perbedaan tahun pembuatan peta itu kemudian disepakati. Dua peta itulah  rujukan utamanya. Maka lahirlah enam butir kesepakatan yang dituangkan dalam keputusan bersama No. Khusus/1973, tanggal 20 Januari 1973. Keputusan bersama itulah menjadi pegangan bagi  Gubernur NTT menetapkan SK NO. 22/ Tahun 1973.

Terhadap nota kesepakatan Aimere itu Bupati Ngada, Yan Yos Botha,  menegaskan. “ Karena kita membuat ini sebagai suatu sedjarah. Supaya anak-anak kita kemudian djangan nanti bertemu hal yang sama jg hanya membuang waktu!” (bdk. Notulen rapat Aimere 20 Januari 1973 hal.5).   (bersambung)

Penulis Pemimpin Umum Floresmerdeka.com

         

Share :

Baca Juga

Sudut Pandang

Sampah dan Lingkungan Hidup

Sudut Pandang

Filsafat Dan Sastra Dalam Pemikiran Manusia

Sudut Pandang

Menyoal Peran Elit Dalam Managemen Bencana NTT

Sudut Pandang

Pendidikan di Era Pandemi

Sudut Pandang

Seks Bebas dan Imago Dei

Sudut Pandang

Membangun Kesadaran Kolektif Manfaat Prokes

Sudut Pandang

Bola dan Jalan Lenting, In Memoriam Guruku, Gaspar Tau Lero

Sudut Pandang

Manggarai Timur Sakit