Merumahkan TKD, Enggan Jadi Petani dan Kemajuan - FloresMerdeka

Home / Mimbar Demokrasi

Sabtu, 24 Juli 2021 - 12:22 WIB

Merumahkan TKD, Enggan Jadi Petani dan Kemajuan

Silvester Joni

Silvester Joni

Oleh: Sil Joni*

Kanal diskursus publik digital di level lokal, kembali menggeliat. Energi atensi publik Manggarai Barat (Mabar) relatif tersedot untuk merespons wacana ‘merumahkan sebagian Tenaga Kontrak Daerah (TKD)’ yang digelindingkan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Mabar.

Isu itu bak bola panas yang bergerak liar dalam ruang percaturan diskursus publik. Kebijakan itu, meski masih dalam tahap wacana, menuai kontroversi. Publik terbelah dalam dua kubu, entah pro maupun kontra yang disertai argumentasi untuk menjustifikasi sikap politik tersebut.

Tidak sedikit warganet yang menolak dan bahkan ‘mengecam’ rencana itu sebagai sebuah kebijakan yang ‘tidak populis’. Martabat kemanusiaan dijadikan basis argumentasi untuk menentang wacana itu. Pemda dinilai kurang peka dengan ‘nasib para TKD’ sebagai manusia.

Mereka yang ‘mendukung’ Pemda juga tidak mau kalah dalam perdebatan ini. Selain alasan efisiensi anggaran (defisit keuangan), kelompok pro ini coba ‘menukik’ ke isu yang lebih substansial, yaitu   perbaikan (reformasi tata kelola birokrasi) demi peningkatan efektivitas kinerja para pegawai publik.

Tulisan ini tidak berpretensi untuk mempertajam atau mengklarifikasi posisi dalam polemik itu. Saya coba membaca ‘pertengkaran’ itu, dari sisi warisan kultural soal ‘fenomen’ keengganan para sarjana untuk menggauli profesi klasik seperti petani, nelayan, peternak, dll.

Lebih jauh, saya coba menarik sebuah hipotesis sebagai ‘efek logis’ dari mentalitas para sarjana itu terhadap akselerasi kemajuan atau perubahan sebuah daerah. Tesis saya adalah ketika mayoritas para sarjana atau orang muda kita lebih terobsesi untuk menekuni pekerjaan kantoran, maka kontribusi terhadap percepatan kemajuan sebuah daerah relatif stagnan.

Pengkultusan Profesi “Kantoran”

Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Kontrak Honorer Pemerintah (orang kantoran) untuk konteks Mabar yang sektor industri kreatifnya “kembang-kempis” menjadi profesi yang prestisius. Menjadi ASN merupakan opsi yang logis dan realistis. Masa depan pasti cerah jika tiket ASN itu sudah dikantongi. Kemiskinan bakal lenyap seketika.

Ketika tiket untuk jadi ASN gagal dikantongi, maka sebagian sarjana (kaum terpelajar), termasuk saya, untuk tidak dibilang semua, berkompetisi untuk memperebutkan ‘peluang’ menjadi TKD. Ada semacam anggapan umum bahwa TKD bisa menjadi ‘batu loncatan’ untuk meniti karier sebagai ASN. Seandainya mimpi menjadi ‘abdi negara’ itu tidak terealisasi, kita masih mendapat ‘kebaikan dari negara’ melalui honor yang kita dapat secara reguler setiap bulan.

Di kampung-kampung, kita masih “menangkap” perlakuan yang berbeda dari masyarakat antara yang Pekerja Kantoran dan bukan. Umumnya, mereka menilai “Orang Kantoran (PNS dan TKD)” identik dengan sarjana atau kaum intelektual yang sukses. Ada orangtua yang secara tegas “menolak” sarjana yang non-Kantoran sebagai “anak mantunya”. Pemuda (sarjana) Kantoran relatif tampil sebagai “kampium”, memperebutkan “hati” seorang gadis dan keluarga besarnya.

Tentu, sikap dikotomis semacam itu tidak salah juga. Orangtua mana yang tidak mendambakan “yang terbaik” untuk masa depan buah hatinya? Kendati demikian, sangat berbahaya jika pola pikir diskriminatif ini tetap dipelihara. Kita sulit keluar dari jeratan kantoran-isme ini. Asumsi syarat bias itu bisa “melumpuhkan” semangat juang.

Sudah saatnya kita memberikan apresiasi dan support kepada mereka yang “memilih medan pengabdian yang lain”. Penghargaan dan dukungan masyarakat menjadi “suntikan motivasi moral” bagi sarjana kita untuk berani “menghidupi” diri dan keluarganya dari “apa yang dia kreasikan” dan bukannya bangga dengan apa yang diberikan negara kepadanya.

Mengapa para sarjana “tidak percaya diri (PD)” mengolah talenta akademiknya dalam dunia praktis? Mereka sudah dibekali dengan “sejuta” ilmu dan keterampilan yang seharusnya “membebaskan mereka” dari ketergantungan yang besar pada “kebaikan Negara”?

Dari alur pikir di atas, penolakan dan protes publik terhadap kebijakan ‘merumahkan sebagian TKD, apalagi di tengah terjangan badai pandemi Covid-19’, bisa dipahami. Bagaimana pun juga, menjadi TKD itu sudah menjadi ‘pilihan’ yang sadar. Kebijakan merumahkan itu sama artinya dengan ‘mencabut profesi utama’. Padahal, pekerjaan sebagai TKD menjadi penopang kehidupan ekonomi rumah tangga.

Enggan Jadi Petani

Saya sering bertanya kepada para siswa saya tentang cita-cita atau keinginan mereka setelah menyelesaikan pendidikan tinggi. Tak ada satu pun siswa yang menjawab “ingin menjadi petani modern (profesional) ibu”. Umumnya, mereka sangat terobsesi untuk menjadi ASN, polisi, pegawai kantoran, guru, perawat, dokter, dll. Petani, nelayan, dan peternak sepertinya tak dianggap profesi yang pantas untuk mereka yang sudah meraih titel “terpelajar”.

Harapan untuk “melompat ke profesi bergengsi”, setelah ditelusuri ternyata sudah tertancap kuat dalam lingkungan budaya (keluarga) kita. Para orangtua mendorong anak-anak mereka untuk mengenyam pendidikan tinggi sebagai jalan “mengubah nasib”. Anak-anak tidak boleh lagi menjadi seperti mereka yang hanya menggantungkan harapan hidup dari “kemurahan alam pertanian”.

Petani, dalam perspektif orangtua, hanya cocok untuk mereka yang tidak “mendapat gelar” akademik tertentu. Sarjana yang menjadi petani pasti “dicibir” sebagai sarjana yang gagal. “Untuk apa sekolah tinggi, jika hasil akhirnya bekerja di sawah seperti kami”, merupakan pertanyaan gugatan yang kerap keluar dari mulut masyarakat kita.

Tak bisa dielak bahwa “konsepsi yang keliru” tentang pendidikan dan kesarjanaan di atas, telah menjalar dalam dada para sarjana. Mereka secara latah mengadopsi anggapan itu. Hal ini terlihat dari fenomena “keengganan” para sarjana untuk “terjun ke sawah/ladang” pasca kuliah. Mereka terpasung oleh “citra kesarjanaan” sebagai predikat yang mewah yang hanya cocok berkarya di kantor-kantor publik dan perusahaan-perusahaan terkenal.

Sarjana (pertanian) mana di Manggarai Barat (Mabar) ini yang telah memilih “bertani” sebagai jalan pemaknaan dan panggilan hidupnya? Profesi petani sama sekali bukan pekerjaan yang pantas untuk seorang sarjana. Efeknya, adalah lahan pertanian di kampung (desa) sebagiannya sudah tak terjamah lagi. Para pekerja produktif lebih memilih meninggalkan kampung untuk bekerja sebagai buruh lepas dan tenaga honorer di kantor atau instansi swasta tertentu.

Kondisi ini, sangat tidak ideal bagi perwujudan pembangunan  yang titik tumpu dan titik tujunya di desa. Skema implementasi pembangunan di era Jokowi-Kalla ini lebih banyak mengalir ke desa. Namun, bagaimana desa bisa diberdayakan jika generasi muda potensial dan terpelajar telah “hengkang” dari desa?

Saya pikir, gugus pikir (mind-set) kita tentang profesi petani dan kesarjanaan mesti direhabilitasi. Bertani adalah pekerjaan yang sangat mulia. Profesi itu tidak bisa dianggap sebagai “tambahan” apalagi sebagai pilihan “keterpaksaan”. Mengenyam pendidikan tinggi tidak dimaksudkan untuk “menghindar” dari profesi itu apalagi “melenyapkannya”. Sebaliknya, hemat saya, pendidikan formal merupakan “sarana bantu” untuk mengembangkan dan menerapkan pola pertanian yang lebih modern dan profesional.

Para sarjana seharusnya “berutang budi” pada profesi itu sebab kita dibesarkan dalam iklim kultur agraris yang kental. Kita dipanggil untuk “membantu” masyarakat di desa untuk “keluar” dari lingkaran pola pertanian subsistem yang relatif tidak terlalu produktif.

Para sarjana mesti tampil sebagai “agen dan kreator perubahan” di desa, bukan dengan cara menghindar dari profesi itu, tetapi membawa spirit dan kultur baru untuk meningkatkan produktivitas lahan. Berbagai inovasi dan kreativitas pertanian modern coba diterapkan secara kreatif. Pola pertanian yang berbasis manajemen profesional dan komersial mesti diadaptasi.

Penghasilan seorang petani sebenarnya tidak kalah dengan mereka yang bekerja di kantor-kantor publik dan lembaga swasta. Mutu kepribadian seorang sarjana tak “luntur sedikit pun” hanya karena dia menjadi seorang petani. Dia tetap sarjana yang patut diteladani sebab telah “berjasa” mengubah pola dan system pertanian di desanya. Lalu, masikah kita enggan untuk menjadi petani?

Kembalilah ke desa

Eks Gubernur NTT, Frans Lebu Raya ketika menghadiri seremoni wisuda pada berbagai kampus di NTT selalu mengingatkan para wisudawan/I untuk kembali ke desa. Saya kira, seruan Lebu Raya ini sangat mendesak untuk kita renungkan. Potensi sumber daya alam di desa kita masih melimpah. Ilmu dan keterampilan menjadi “perkakas hidup” untuk mengolah berbagai aset alamiah tersebut. Sentuhan dan jamahan kreatif dari orang muda khususnya kaum sarjana sangat diharapkan.

Gerakan pulang ke desa mesti menjadi “gerakan bersama” agar desa kita tidak kesepian dan semakin tertinggal. Gubernur NTT yang baru, Viktor B. Laiskodat sudah berkomitmen untuk memberdayakan generasi muda kita. Orang muda mesti menjadi ujung tombak perwujudan idealisme menjadikan NTT provinsi yang lebih maju, minimal setara dengan provinsi lain di belahan Barat Negara kita ini.

Kebijakan moratorium pengiriman pekerja migran dari NTT ke luar negeri, hemat saya merupakan terobosan politik yang spektakuler agar angkatan pekerja produktif kita “kembali ke kampung” untuk mengolah aneka kekayaan yang ada. Atas dasar itu, tak salah jika para sarjana kita “didorong” untuk segera membenahi kampung setelah menggondol gelar sarjana di berbagai kampus ternama di negeri ini. Siapa lagi yang menjadi petani kalau bukan kita? Siapa lagi yang menyulap desa kita kalau bukan sarjana?

Ketika ethos kewirausahaan terinternalisasi dalam diri kelompok terpelajar, maka gejala parasitisme dalam tubuh pemerintahan, bisa diminimalisasi. Kita, para sarjana, merupakan kelompok kreatif dan produktif dalam mengubah kondisi kesejahteraan sebuah daerah melalui optimalisasi segenap potensi dan kapital akademik yang kita hidupi selama bertahun-tahun di Perguruan Tinggi.

Dengan demikian, talenta akademik itu tidak ‘terkubur’ dalam arus rutinitas kantoran, tetapi diarahkan sepenuhnya untuk menghasilkan karya kreatif dan inovatif berbasis potensi alam dan budaya di wilayah masing-masing.

Saya sangat optimis bahwa jika mayoritas anak muda memiliki spirit wirausaha dan kemandirian yang kuat, maka kontribusinya bagi percepatan kemajuan sebuah daerah akan lebih besar. Para sarjana tampil sebagai ‘pencipta dan penyuplai’ lapangan kerja bagi diri, keluarga dan masyarakat pada umumnya.

*Penulis adalah warga Dusun Watu Langkas.

         

Share :

Baca Juga

Mimbar Demokrasi

MK Batalkan Kemenangan Orient P. Riwu Kore
ilustrasi pilkada mabar

Demokrasi Mabar

Siapa ‘Tersungkur’ di Menit Terakhir Pilkada Mabar?

Mimbar Demokrasi

Heboh, Warga Negara AS Terpilih Jadi Bupati Sabu Raijua

Demokrasi Mabar

Gempur Desa Terpencil, Duta “Misi” Dibekali 30 Unit Sepeda Motor

Demokrasi Mabar

Ketika Harga ‘Satu Kursi’ Semakin Mahal

Demokrasi Mabar

Antara “Betis Politik” dan “Paha Politik” (Membaca Hasrat Kuasa Para politisi)

Demokrasi Mabar

Sil Syukur Berjanji Sejahterakan Para Petani

Mimbar Demokrasi

Bupati Endi Tolak Praktik Jual Beli Jabatan