Keunikan Kampung Adat Matalafang yang Khas - FloresMerdeka

Home / Feature

Kamis, 17 Juni 2021 - 05:47 WIB

Keunikan Kampung Adat Matalafang yang Khas

Kabupaten Alor di Provinsi Nusa Tenggara Timur menyimpan banyak sekali potensi wisata yang belum secara maksimal digali dan dikembangkan.

Dikenal luas sebagai salah satu pulau di Indonesia dengan segudang spot diving terbaik yang pernah ada, Kabupaten Alor tentu layak dinobatkan sebagai surga destinasi wisata bahari terpopuler.

Namun berbicara tentang Kabupaten Alor tentu tidak hanya soal hamparan pantai yang eksotis dan terumbu karangnya yang menjadi buruan utama para pecinta dunia bawah laut. Kabupaten Alor masih menyimpan banyak potensi lainnya, diantaranya adalah potensi ekonomi kreatif, kuliner maupun budaya.

Menunjang keberlangsungan pariwisata Alor, Pemerintah Kabupaten Alor melalui Dinas Pariwisata mulai melirik potensi pengembangan desa wisata sebagai salah satu program prioritas yang akan dikembangkan dengan baik. Di tahun 2021 ini, pemkab Alor telah menyiapkan 51 desa wisata yang selanjutnya akan menjadi perhatian serius pemerintah.

Diantara puluhan desa wisata ini, terdapat salah satu kampung adat yang hingga saat ini masih memegang erat adat istiadat serta kebudayaan yang telah lama melekat dan dijunjung tinggi.

Nama kampung ini adalah Kampung Adat Matalafang, sebuah kampung adat yang terletak di Desa Lembur Barat, Kecamatan Alor Tengah Utara, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur.

Untuk mencapai kampung ini, dibutuhkan waktu kurang lebih 20 menit jika berangkat dari bandara Mali Alor dan membutuhkan waktu kurang dari 30 menit jika ditempuh dari Kalabahi, Ibu Kota Kabupaten Alor.

Berkunjung ke tempat ini para tamu akan langsung disambut dengan berbagai jenis tarian penyambutan. Tarian penyambutan pertama adalah tarian Luh, selanjutnya tarian perang yang disebut tarian Cakalele Dokak hingga tarian penutup yang dilakukan oleh semua anggota keluarga.

Kampung adat Matalafang memiliki enam buah rumah tradisional  yang dihuni oleh 6 kepala keluarga yang terdiri atas 17 jiwa. Penduduk sekitar menyebut rumah adat ini dengan sebutan Lopo (rumah adat).

Dari enam Lopo ini terdapat salah satu Lopo yang berukuran paling kecil dan berdiri megah dikelilingi oleh 5 lopo berukuran besar. Ini adalah Lopo yang diperuntukan bagi nenek moyang dan para leluhur.

Berbeda dengan kelima Lopo lainnya yang memiliki empat tingkatan ruangan, di dalam lopo milik leluhur ini hanya terdapat satu ruangan yang diperuntukan untuk meletakan persembahan. Pada bubungan yang beratap jerami terdapat simbol khusus yang menandakan Lopo Kecil ini begitu istimewa.

Sementara perunutan dari tingkat paling atas kebawah untuk empat tingkatan ruangan didalam setiap 5 Lopo besar lainnya berfungi untuk tempat menyimpan harta benda, tingkatan bawah berikutnya untuk menyimpan stok makanan, selanjutnya ruangan untuk tidur dan tempat paling bawah tempat yang di fungsikan sebagai tempat menerima tamu atau tempat bersantai.

Di Kampung Matalafang juga terdapat sebuah mesbah yang tersusun atas batu batu membentuk sebuah lingkaran. Saat tarian berlangsung, empat buah Gong yang terdiri dari 2 gong kecil dan 2 gong besar serta 3 buah tembikar yang dinamai Moko diletakan di atas mesbah ini.

Saat prosesi tarian, baik orang dewasa maupun anak anak harus mengenakan pakaian adat dan melantunkan nyanyian adat diiringi dengan gerakan melingkari mesbah dengan keseragaman hentakan kaki.

Dalam prosesi ini, para wanita akan mengenakan masing-masing dua buah gelang pada kedua kakinya. Suara gelang gelang ini juga menjadi alat musik untuk mengiringi nyanyian adat.

Saat melakukan prosesi tarian penyambutan ini baik pria maupun wanita juga mengenakan tas yang terbuat dari kulit bambu. Tas untuk pria memiliki bentuk yang berbeda dengan wanita.

Bentuk tas pria yang dinamai Kamol ini berbentuk segi empat sementara tas wanita yang disebut Fuulak berbentuk persegi panjang. Kedua tas ini digunakan untuk menyimpan sirih pinang dan peralatan lainnya.

Mata pencaharian warga Matalafang adalah berkebun dan berburu. Jagung, Umbi umbian dan Padi adalah komoditi utama mereka untuk berladang. Musim tanam dimulai pada bulan November dan musim panen dimulai pada bulan April.

Setelah musim panen, pada bulan Agustus warga akan memasuki musim potong kebun. Musim ini bertujuan untuk membersihkan ladang untuk selanjutnya dapat digunakan untuk menanam kembali.

Sebelum memasuki musim tanam, warga juga akan melewati musim bakar kebun yang dilakukan selama bulan Oktober. Waktu sebulan digunakan sebagai persiapan menuju musim tanam pada bulan November.

Berbeda dengan kampung adat Takpala, saudara tuanya, kampung adat Matalafang belum begitu dikenal oleh wisatawan. Berbagai faktor menjadi alasan utama, selain sulitnya sarana prasarana air bersih, kondisi jalan yang buruk menjadi keluhan utama masyarakat kampung Matalafang, 17 orang warga yang mendiami 5 buah Lopo Besar (Rumah Adat Matalafang).

Ketua sanggar kampung Matalafang, Karel Melbiefe menjelaskan keberadaan kampung adat Matalafang menjadi lebih otentik dibandingkan dengan kampung adat lainnya di Kabupaten Alor karena dihuni dan dijaga oleh satu keluarga besar yang aktivitas sehari-harinya di sekitar rumah adat Matalafang ini.

“Saya lahir dan tumbuh besar disini hingga sekarang, kami tinggal ditempat ini dengan menjaga pesan leluhur untuk selalu merawat dan menjaga kebudayaan tempat ini. Apa yang ditinggalkan kepada kami harus kami jaga. Itu yang membedakan kampung kami dengan kampung lainnya yang tidak dihuni. Silahkan datang dan nikmati suasana bersama kami disini.” ujar Karel

Kampung Adat Matalafang sering dikunjungi oleh wisatawan baik nusantara maupun mancanegara, namun masih jarang ada wisatawan yang memilih menginap di kampung adat ini.

Jika pemerintah ingin secara serius menjadikan Kampung Adat Matafalang sebagai salah satu desa wisata di Pulau Alor, Karel menaruh harapan adanya sentuhan  perubahan bagi kampung adat Matalafang khususnya dalam hal jalan dan air bersih serta penataan kampung adat yang lebih baik agar mampu memberikan kenyamanan bagi wisatawan saat berkunjung.

“tempat ini siap menerima tamu hanya memang kebutuhan kami disini akses jalan yang susah, selain itu air bersih susah. Keinginan besar kami cuma dua itu. Jika ada air kami akan siapkan semua termasuk toilet. Kami siap menerima orang luar tapi bukan berarti kami mau membisniskan budaya kami. Tapi jika kehadiran Ibu disini untuk membangun tempat ini, kami siap.” ujar Karel saat berbincang bersama Direktur Utama BPOLBF, Shana Fatina.

Mengunjungi salah satu kampung Adat tertua yang ada di Kabupaten Alor ini, Direktur Utama Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores, Shana Fatina mengaku terkesan dengan adat istiadat serta kebudayaan yang hingga saat ini masih dijaga dan dirawat dengan baik.

“Awalnya kita melihat bahwa Alor punya karakteristik yang berbeda dan unik, kemudian kita pilih Matalafang sebagai salah satu Kampung Adat yang ingin kita perkenalkan.

Disini kebudayaannya itu otentik, saat kita datang dan disambut dengan tarian dari sebuah keluarga besar dan kita bisa lihat langsung kehidupan masyarakat dengan rumah adat yang sangat khas. Dengan datang kesini, pasti kita mendapatkan suasana yang istimewa.” ucap Shana

Untuk dapat dijadikan salah satu desa wisata, Shana menjelaskan bahwa keberadaan Kampung Adat dengan segala bentuk kekhasannya mulai dari Rumah Lopo (Rumah Tradisional berbentuk kerucut) serta tarian penyambutan yang disebut lego – lego ini tentu masih memerlukan sentuhan pendukung baik dari sisi infrastruktur pendukung, penguatan produk, serta tata kelola. Hal ini pun menjadi perhatian utama BPOLBF untuk menata kampung Adat Matalafang menjadi makin siap untuk menerima wisatawan.

“Potensi produk wisatanya sudah ada. Tinggal nanti kita akan coba diskusikan tentang tata kelolanya seperti apa sehingga menjadi lebih rapi lagi. Sehingga tidak menutup kemungkinan bagi wisatawan untuk tinggal lebih lama, bahkan tadi sempat diskusi sudah ada beberapa yang pernah menginap. Nanti coba kita lihat apakah terbuka kemungkinan seperti itu. Tentunya kebutuhan dasar dari air, makanan dan akses jalan yang akan kita dahulukan.” ujar Shana.

“Kehadiran kami untuk membantu memfasilitasi teman – teman di Kampung Matalafang sesuai dengan kebutuhan mereka seperti tadi yang disampaikan. Ke depan, kami akan berkoordinasi kepada stakeholder terkait yang bisa mensupport itu.” lanjut Shana.(Team Humas BPOLBF)

  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  

Share :

Baca Juga

Gregorius Modo (51) peracik Sopi Kobok di Manggarai Timur. (Foto: Flores Merdeka)

Bumi Manusia

Sopi Sarang Semut, Bikin Emut-Emut

Bumi Manusia

Prahara Kampung Kewa Kaba Manggarai Timur

Feature

Agus Puka, Kopi Tuk dan Pariwisata Super Premium

Feature

Mama Paulina Bumbung dan Kisah Penjual Pisang Goreng
Nelayan Papagarang sedang menjemur ikan

Bumi Manusia

Mengendus Kisah Hidup Nelayan Papagarang

Bumi Manusia

Bocah Nekat di Balik Layar Pasar Warloka

Bumi Manusia

Arnoldus Stara, Meniti Hidup dari Moke

Feature

Restaurant 10 Euro, Cuci Mata dan Menyanyi