BORONG, FLORESMERDEKA.COM-Kamis (30/7/2020). Hari kian sore. Jam menuju pukul 16.30 Wita. Suasana Kampung Kewa Kaba, Desa Lembur, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, ramai.
Suara anak-anak bernyanyi terdengar jelas. Kadang tak beraturan. Lupa lirik. Ada juga yang hanya bergumam. Beberapa warga kampung juga mulai memadati kali. Ibu-ibu, bapak-bapak hingga anak-anak.
Nama kali itu Wae Pake. Jaraknya sekitar satu kilometer (km) dari rumah warga.
Kali Wae Pake, salah satu sandaran. Minum, masak, mandi, cuci dan keperluan lainnya. Itu pun kalau musim hujan.
Saat kemarau tiba, warga harus berjalan kaki mengambil air di Kampung Mbapo. Sekitar dua kilometer jaraknya. Mbapo juga bagian dari wilayah Desa Lembur.
“Kami pakai pikul pak. Coba lihat jalan kami. Masih seperti ini. Dari dulu hingga saat ini belum pernah berubah,” ucap Lusia Bombol warga kampung itu.
Lusia tampak tak banyak bicara. Raut wajahnya memberi isyarat, tentang susahnya kehidupan warga kampung itu.
Di depan rumah wanita kelahiran 1964 itu ada beberapa tumpukan karung berisi kemiri. Kata Lusia, kulit kemiri akan dikupas lalu dijual ke pasar atau kepada para tengkulak lokal.
“Kalau terdesak butuh uang, terpaksa kami ambil uangnya dulu ke para pedagang nanti baru kami tutup dengan hasil perkebunan kami,” katanya.
Rumah Lusia belum diterangi listik. Begitu pula 15 Kepala Keluarga (KK) di kampung itu.
Sudah lama mereka merindukan penerangan listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN). Namun, tak kunjung tiba.
Untuk mendapat penerangan, warga terpaksa menggunakan mesin generator milik salah satu warga di kampung itu.
“Kami bayar tiap bulan Rp.80.000, setiap rumah hanya tiga mata lampu. Tetapi itu pun tidak sampai pagi. Jam 22.00 Wita sudah padam,” aku Lusia.
Untuk memenuhi kebutuhan listrik ke rumah-rumah tetangga yang lain menggunakan tiang bambu. Sarana ini berbahaya, tetapi kondisinya memang demikian. “ Beginilah yang kami alami,” lanjutnya dengan suara pelan.
Sekira satu jam bercerita, Lusia, mulai tersenyum. Secerca harapan terucap dari parasnya. Ia kian berani mengungkapkan rasa. Bercerita lebih dalam, tentang perjuangan melawan keterbatasan.
Ia memang sudah mulai keriput. Namun ibu dua anak itu menitipkan harapan, kelak warganya bisa menyembuhkan kepedihan yang sudah lama dialami.
“Semoga kami bisa diperhatikan. Kami di sini sangat susah pak. Terima kasih sudah mengunjungi kampung kami warga Kampung Kewa Keba,” tutupnya.
Secara terpisah, Kepala Desa Lembur, Yohanes Baos, menjelaskan Kampung Kewa Kaba adalah salah satu kampung yang masih terisolir di desa itu.
Pria yang baru dilantik menjadi Kades Lembur, 20 Desember 2019 lalu itu, menjelasakan pemerintah desa sudah menganggarkan Dana Desa (DD) sebesar Rp. 870.000.000 untuk rehabilitasi air minum.
“Rencananya instalasi air minum bersih menjangkau Kampung Kewa Kaba. Karena itu bak besar yang akan kita bangun. Program ini sudah ditetapkan dalam APBDes. Sehingga bisa bermanfaat untuk mencukupi semua kebutuhan air minum,” ucapnya.
Kendala yang paling besar kata dia, yakni sarana perpipaan yang bangun pada tiga tahun silam di desa itu. Banyak yang tidak berfungsi bahkan pata. Makanya kita akan lakukan rehab secara menyuluruh sampai pemukiman warga.
Pria kelahiran November 1978 itu bahkan dengan tegas mengatakan akan memastikan kehidupan warganya sejahtera ke depannya.
Namun mimpi Yohanes terkendala wabah virus corana, entah sampai kapan akan berakhir. Dalam doanya ia selalu memohon kiranya virus yang sudah menghilangkan banyak nyawa itu segeralah sirna.
“Ini bukan pernyataan ugal-ugalan. Semoga saja virus ini segera berakhir,” imbuhnya. (Feg)