Agus Puka, Kopi Tuk dan Pariwisata Super Premium - FloresMerdeka

Home / Feature

Rabu, 4 November 2020 - 07:05 WIB

Agus Puka, Kopi Tuk dan Pariwisata Super Premium

Agus Puka (berambut gondrong)sedang melayani para pembeli

Agus Puka (berambut gondrong)sedang melayani para pembeli

Agus Puka, Kopi Tuk dan Pariwisata Super Premium

LABUAN BAJO, FLORESMERDEKA.COM – Matahari hampir habis. Namun, pria paru baya itu belum juga beranjak dari kaki Bukti Amelia, salah satu spot destinasi wisata terkenal di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar). Kawasan ini selalu ramai dikunjungi para wisatawan.

Di tempat ini pula, Agus Puka, demikian pria asal Hokeng, Kabupaten Flores Timur biasa dipanggil menjadikan tempat ini sebagai lokasi “nongkrong” sambil berjualan kopi tuk (kopi tumbuk), hasil racikan sendiri.

Agus yang ditemui Floresmerdeka.com di rumahnya yang sederhana di kawasan Batu Cermin, Labuan Bajo, Selasa (3/11/2020) berceritra panjang lebar seputar pasang surut perjalanan hidupnya. Agus mengatakan, sudah hampir lima bulan terakhir, ia menekuni profesi baru sebagai penjual kopi tuk (Kopi tumbuk) asli Manggarai, Flores. Sebelumnya, hampir 30 tahun, ia bergelut di dunia pariwisata sebagai seorang tour guide. Namun kabar pandemi virus corona membalikkan jalan hidupnya.

Ia kemudian membanting setir hidup sebagai pedagang kopi tuk keliling kota demi asap dapur tetap mengepul. Padahal, sebelum pandemi Covid-19, profesi sebagai tour guide- sudah ia jalani selama 31 tahun. Pekerjaan itu pula yang menjadi sumber hidup untuk menghidupi keluarga dan anak-anaknya. Pria yang fasih berbahasa Jerman dan Inggris ini menjadi _freelancer pemandu wisata bagi para wisatawan domesti atau mancanegara.

“Sejak Bulan Maret, saya berhenti total jadi tour guide. Saya coba bekerja apa saja untuk bertahan hidup,” ujarnya sedih.

Kabar adanya virus corona telah meruntuhkan semangat hidupnya. Ia jarang keluar rumah, apalagi kembali ke Lombok, di Nusa Tenggara Barat, tempat tinggal istri dan anak-anak mereka. Para wisatawan pun banyak yang pulang ke negara asal mereka. Semua hotel dan restaurant tutup total. Tempat-tempat wisata yang ramai dikunjungi oleh para wisatawan seketika sepih pengunjung.
“Dunia pariwisata benar-benar mati total,” katanya.

Meskipun pariwisata kolaps, namun Agus dan keluarga tentu harus tetap menjalani hidup seperti sedia kala. Ia harus berjuang mencari nafkah untuk menghidupi keluarga dan sekolah anak-anaknya.

Pada suatu ketika, Agus merenung, ia harus memutar otak bagaimana cara untuk menyambung hidup. Maklum, janji pemerintah untuk memberikan bantuan social (Bansos) tak kunjung datang. Dalam ketidakpastian, muncul ide bagimana memenuhi kebutuhan terutama urusan perut yang tidak bisa ditunda.

Pada suatu waktu, ia mendapat kabar kalau ada proyek padatkarya dari Kementrian Pariwisata. Ia pun ikut mendaftarkan diri sebagai peserta bersama rekan-rekan seprofesi yang ikut terpapar dampak virus corona. Sayang, proyek tersebut hanya berlaku 26 hari dengan upah kerja per hari Rp.90.000.
Ia pun ikut kerja proyek tersebut hingga selesai.

Upah kerja ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan untuk membayar iuran kuliah anak-anak. Agus kembali bingung. Dari mana ia mendapat pekerjaan untuk bisa dapat makan.

Dalam kekalutan itu, muncul ide untuk menjual kopi tuk keliling kota. Ia berpikir, kopi dapat dinikmati oleh siapa saja, kapan saja dan di mana saja. Untuk merealisasikan idenya itu, ia meminta uang Rp 200 ribu kepada istrinya. Uang itu sebagai modal awal untuk memulai buka usaha. Ia membeli kopi biji di pasar tradisional Batu Cermin.

Selanjutnya, secara otodidak, ia merakit kopi yang ia sebut sebagai kopi tuk karena biji kopi yang ia olah secara tradisional yakni biji kopi ditumbuk setelah digoreng. Bubuk kopi tidak dimesa melainkan hanya disimpan di dalam wadah toples dengan cita rasa yang khas.

“Saya meramu dua jenis kopi robusta dan arabika. Hasilnya lumayan. Banyak orang senang menikmati kopi tuk. Awalnya, saya hanya mencoba-coba. Tapi akhirnya mendapat hasil yang lumayan,” ujarnya bangga.

Pada awalnya ia menjual kopi tuk dalam bentuk bubuk tanpa kemasan. Setiap hari ia berkeliling kota Labuan Bajo dengan sepeda motor miliknya. Sepeda motor itu ia modifikasi sedemikian rupa agar bisa menyimpan peralatan dapur seperti termos air, piring, gelas, sendok, tisu dan tempat duduk plastik. Ia belum berpikir membuat produk itu dalam kemasan dan diberi label sebagaimana layaknya produk-produk Usaha Kecil Menengah (UMK) lainnya.

Meskipun serba sederhana namun, ia mengaku banyak wisatawan yang menikmati kopi tuk racitannya sendiri. Ia bangga karena banyak orang berminat membeli dan menikmati kopi tuk buatannya sendiri. Segelas kopi tuk ia jual dengan harga Rp.5.000 per gelas. Beberapa bulan kemudian, ia beberaka kali diundang oleh para pegiat UMK untuk mengikuti pelatihan dan bergabung dalam kelompok UMK. Berkat pengetahuan dan pengalaman berjualan kopi tuk keliling kota, kini ia mulai mengembangkan kopi tuk lebih baik dan profesional.

Selain tetap berjualan keliling kota, perlahan-lahan ia mulai mengembangkan usaha kopi tuk dengan menjual dalam bentuk kemasan. Satu kemasan berisi 100 gram dibandrol seharga Rp 25 ribu. Di rumahnya ia lengkapi kompor untuk menggoreng kopi dan fasilitas lainnya seperti label dan kemasan. Untuk memperlancar usahanya, ia minta bantuan anaknya yang sedang kuliah di Jawa. Kemasan dikirim dari Jawa sedangkan untuk mengolah dan mengemasnya ia lakukan secara mandiri.

Kopi Tuk racikan Agus Puka. Foto.FMC/Kornelius Rahalaka


“Untung anak saya kuliah di Jawa. Jadi ntuk kemasan, saya minta anak saya yang buat dan kirim dari sana. Sekarang, saya sedang urus admisntrasi untuk ijin resmi. Tapi rumitnya minta ampun. Pemerintah di sini tidak beri kemudahan orang berusaha. Semua, maunya uang muka padahal, mestinya urusan perijinan gratis saja. Toh, kalau usaha sudah berjalan tentu kami akan bayar pajak,” ujarnya dengan nada lirih.

Meskipun menghadapi banyak kendala dan tantangan, namun ia bertekad akan tetap setia menjalankan usaha yang sudah ia rintis dengan susah payah. Setiap pagi mulai Pkl. 10.00.Wita ia keluar rumah untuk berjualan kopi tuk dan baru kembali ke rumah menjelang matahari terbenam. Ia mengaku, pendapatan sehari bisa mencapai Rp. 200 ribu.

“Ya, itu sudah cukup bagi saya. Paling tidak modal pinjamna istri dapat kembali dan sebagian untuk membiayai hidup dan sekolah anak-anak,” pungkas suami dari Rita Rinjani Avianti ini.

Bapak tiga anak ini berharap, pandemi corona cepat berlalu agar dunia pariwisata pun bisa normal kembali. Ia pun mengharapkan pemerintah memberikan kemudahan bagi dia dan banyak pelaku pariwisata yang sedang kehilangan pekerjaan akibat bencana pandemi corona. Semoga mereka dapat kembali mendapatkan pekerjaan yang layak.

Kini, putera sulungnya, Lazarus Christian Puka (27 tahun), kuliah pada tingkat akhir mahasiswa teknik Universitas Mataram, sedangkan Dede Walter Puka (25) anak keduanya sudah tamat pendidikan Stipar Ambarukmo Yogyakarta sedangkan anak bungsunya, Yohanes Basa Puka (22), masih duduk di bangku kuliah Sekolah Tinggi Pariwisata Mataram.

Agus pun berharap, usaha yang sedang ia rintis dapat berjalan lancar dan dunia pariwisata Manggarai Barat dapat segera kembali mengeliat. Apalagi pemerintah sudah membaptis pariwisata Manggarai Barat sebagai pariwisata super premium.

Dengan label premium ini, warga yang masih hidup dalam lilitan kemiskinan dan ketakberdayaan diberdayakan ermasuk dia dan teman-teman senasib dan sepenanggungan.

“Pariwisata super premium jangan hanya slogan semata tapi harus dapat memberdayakan masyarakat termasuk saya, penjual kopi tuk keliling kota,” ujarnya penuh harap.(Kornelius Rahalaka/Flores Merdeka)

Share :

Baca Juga

Feature

Asyiknya Berwisata di Tengah Pandemi Virus Corona (3)

Bumi Manusia

Metanarasi Golkar NTT, Tapak Undur Meraih Kedalaman
Gregorius Modo (51) peracik Sopi Kobok di Manggarai Timur. (Foto: Flores Merdeka)

Bumi Manusia

Sopi Sarang Semut, Bikin Emut-Emut

Bumi Manusia

Arnoldus Stara, Meniti Hidup dari Moke

Feature

Menelisik Peran Penting BPO Pariwisata Flores

Feature

Watu Rombang, Batu Legenda Berdaya Mistis-Magis

Bumi Manusia

Bocah Nekat di Balik Layar Pasar Warloka

Bumi Manusia

Golkar Matim: Menyapa yang Papah, Menjemput yang Lemah