Asyiknya Berwisata di Tengah Pandemi Virus Corona (3) - FloresMerdeka

Home / Feature

Selasa, 30 Maret 2021 - 03:20 WIB

Asyiknya Berwisata di Tengah Pandemi Virus Corona (3)

Tarian

Tarian "ako mawo" dipentaskan oleh sanggar budaya Riang Tana Tiwa. (Foto:Kornelis Rahalaka/Floresmerdeka)

LABUAN BAJO, FLORESMERDEKA.COM- Di tengah kecemasan dan ketakutan dunia akan virus corona (covid-19), sekelompok wartawan justru melancong ke beberapa destinasi wisata di Labuan Bajo, Manggarai Barat (Mabar). Perjalanan jurnalistik bertajuk: “Insentif Trip” ini sungguh mengasyikan karena dikemas sebagai bagian dari rangkaian kegiatan sosialisasi dan simulasi pelaksaaan kebersihan, kesehatan, keselamatan dan kelestarian lingkungan pada penyelenggaraan kegiatan pertemuan, insentif, konvensi dan pameran di destinasi pariwisata super premium Labuan Bajo, Manggarai Barat.

Keelokan seni budaya, keindahan alam dan keramahan penduduknya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Desa Liang Ndara, Kecamatan Mbeliling, Kabupaten Manggarai Barat. Desa yang terletak di lereng gunung Mbeliling ini sudah terkenal hingga ke manca negara. Letaknya strategis. Berjarak sekitar 20 km dari Kota Labuan Bajo dengan waktu tempuh 30 menit. Desa ini telah ditetapkan pemerintah sebagai salah satu desa wisata. Ia memiliki panorama alam serta budaya yang mempesona. Sungguh sayang bila dilewatkan.

Pemandangan indah menawarkan sejuta kenangan bila Anda datang ke tempat ini. Selain kental dengan kebudayaan tradisionalnya, di tempat ini terdapat pula beragam destinasi wisata manarik yang layak Anda kunjungi. Sebut misal, gua air terjun Liang Kantor yang terletak di tengah hutan Mbeliling. Untuk mencapai gua ini, pengunjung hanya membutuhkan waktu kurang lebih 30 menit dengan berjalan kaki, menyusuri hutan yang masih “perawan”. Anda pun sambil memantau burung-burung beraneka ragam.  Jika berutung, Anda dapat memantau beberapa jenis burung endemik yang hanya terdapat di kawasan ini.

Ada pula gua Niki. Gua ini terdapat di Kampung Mamis. Niki dalam bahasa setempat artinya kelelawar. Gua ini memiliki terowongan yang panjang mencapai ratusan meter. Puluhan bahkan ratusan kelelawar bersarang di tempat ini. Petani setempat sering datang ke tempat ini untuk mengambil kotoran niki untuk memupuk tanaman mereka.

Desa Liang Ndara memang memiliki pemandangan alam yang indah. Boleh dibilang di tempat ini Anda menemukan dan menikmati segalanya. Mulai dari panorama alam yang indah,budaya atau tradisi adat istiadatnya yang masih terpelihara hingga wisata kuliner dan beragam kerajinan tangan masyarakat yang dapat Anda nikmati. Dari sini pula Anda dapat menyaksikan bentangan hutan yang luas, birunya laut dan gugusan pulau-pulau yang indah hingga mendengarkan musik khas Manggarai. Bila malam tiba, dari Kampung Cecer, Anda dapat menikmati gemerlap Kota Labuan Bajo.

Kami bersyukur karena siang itu, Kamis 25 Maret 2021, kami berkesempatan mengunjungi desa wisata ini. Diawali ritual adat “kepok manuk lele tuak” kami disambut hangat oleh warga setempat. Acara adat seperti ini biasa dilakukan oleh para tetua adat pada setiap menerima tamu atau wisatawan. Seekor ayam putih dan sebotol tuak, sebagai simbol penerimaan kami. Ayam putih melambangkan kesucian batin warga kampung menyambut kedatangan kami.

Sedangkan tuak putih adalah simbol air kehidupan yang akan kami minum demi mengatasi kehausan setelah menempuh perjalanan jauh. Ada pula acara pengalungan selendang oleh ibu-ibu setempat sebagai ungkapan rasa syukur sekaligus penerimaan asat kedatangan tamu terhormat. Rangkaian ritual adat ini merupakan bagian dari kebudayaan yang wajib dihormati oleh setiap orang yang datang.

Usai acara adat, kami disuguhkan kuliner lokal khas Liang Ndara. Ada pisang lemet, ubi kukus, sambal terasi hasil karya kelompok ibu-ibu setempat. Ada pula kerajinan tangan hasil kreasi para ibu dan bapak: kripik pisang, beragam jenis anyaman, tenun ikat songke khas Manggarai dan kerajinan tangan lainnya. Anda boleh mencoba mencicipi atau membelinya sebagai ole-ole untuk di bawah pulang.

Sebuah sanggar budaya “Riang Tanah Tiwa” pun siap menyambut kedatangan kami. Sanggar ini dibangun secara swadaya oleh masyarakat adat setempat. Kelompok sanggar ini telah banyak berkiprah melayani para wisatawan. Ia siap menyuguhkan beragam atraksi budaya seperti caci, rangkuk alu, sanda dan beberapa atraksi lainnya yang dikemas dalam satu paket pagelaran. Sekali pentas, seharga Rp.1.600.000. Tarif ini tidak termasuk akomodasi makan minum. Sanggar ini beranggotakan 30 orang. Mereka adalah anggota komunitas masyarakat adat di kampung itu yang setiap waktu siap untuk melayani para wisatawan yang datang.

Kami beruntung, selain menyaksikan atraksi budaya, rombongan pun ikut larut dalam paduan nada dan irama. Sejumlah ibu menabuh gong-gendang seraya menyanyikan lagu khas Manggarai, sementara kelompok lain berdiri melingkar sambil bersanda diiringi syair-syair lagu berisikan petuah atau ajakan untuk saling mengasihi. Taian caci adalah salah satu jenis tarian yang sudah mendunia. Sementara tarian rangkuk alu menurut ceritra orang-orang setempat merupakan tarian khas bagi kawula muda sebagai ajang mencari jodoh. Tarian ini biasa dipentaskan saat bulan purnama tiba.

Irene Sarah, Wahyu Wicaksono, Anidyari Kusumastuti Manghfira, Wawan Gunawan, Halida Isfiandani, Dyan Ajie Pratama, Mochamad Haris Adcharin dan Yuke Ardini dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tampak larut dalam suasana kegembiraan ini. Tarian rangkuk alu biasanya dilakoni oleh 6-8 orang. Empat orang sebagai pelentur bambu dan empat lainnya bertindak sebagai penari. Selain sebagai ajang mencari jodoh, tarian ini juga untuk menguji ketangkasan penari karena dibutuhkan konsentrasi, kecepatan dan ketepatan. Sebab, jika terlambat melompat, kaki sang penari dapat terjepit diantara bambu-bambu dalam satu hentakan dan gerakan berirama.

Perjalanan kami siang itu, terasa belum sempurna jika kami belum menikmati panorama alam Kota Labuan Bajo dan sekitarnya. Usai larut dalam kegembiaraan menikmati tarian caci dan rangkuk alu, rombongan menuju Kampung Rangko, sebuah kampung mungil di bibir pantai tidak jauh dari Kota Labuan Bajo. Kampung Rangko dapat ditempuh dengan berkendaraan sekitar 25 menit dari kota Labuan Bajo. Bus Pariwisata yang kami tumpangi pun melaju ke kampung yang terkenal dengan gua Rangko yang eksotik.

Satu-satunya akses menuju Gua Rangko hanya melalui jalur laut, sedangkan jalur darat hampir dipastikan mustahil karena topografi wilayah yang terdiri dari tebing cadas dan curam. Padahal, jaraknya hanya sekitar 1 mil dari Kampung Rangko. Kami pun menumpang sebuah perahu milik Bapak Haji Duraja yang dikemudikan oleh Samsi, warga setempat.

“Kita hanya bisa lewat laut karena jalur jalan tidak bisa. Lihat saja batu-batu cadas itu,”ujar Samsi seraya menunjuk ke arah gugusan perbukitan cadas dan curam yang membentang di depan kami.

Waktu tempuh hanya sekitar 10 menit. Kapal telah merapat mulus di dermaga kayu yang dibangun pemerintah beberapa tahun lalu. Kondisi dermaga itu masih cukup kuat dan layak digunakan untuk naik-turun penumpang. Ada dua bangunan dari kayu di atas dermaga ini. Ada ruangan ganti dan untuk beristirahat bagi para tamu. Sayang, kondisi MCK yang terletak hanya beberapa meter dari termaga tampak jorok, tak terawat.

Maklum, sejak pandemi korona, tidak ada petugas yang menjaga dan merawatnya. Warga pun tak banyak yang datang. Menuju gua Rangko hanya membutuhkan waktu lima menit atau sekitar 200 meter dari dermaga. Bentuk gua sangat unik. Terdiri dari batu-batuan megalitik dengan air kolam terdapat di dasar gua. Gua ini dikelilingi hutan yang masih terjaga keasliannya. Letaknya pun hanya terpaut beberapa meter dari bibir pantai.

Pintu masuk ke gua hanya seluas sekitar empat meter dan berbentuk oval. Suasana angker segera terasa dari dalam gua ini. Sebelumnya gua ini dbiarkan alamiah, tanpa sentuhan manusia. Jika ingin masuk ke gua pengunjung masih menggunakan tali atau kayu. Namun, ketika semakin banyak wisatawan yang datang, gua ini mulai ditata lebih baik. Bebatuan yang berserakan di dalam gua disusun rapi dan fasilitas untuk aktivitas berenang disiapkan oleh petugas. Demikian pula di luar gua pada titik tertentu dilengkapi pagar pengaman bagi para pengunjung.

Di tempat ini para pengunjung dapat melakukan aktivitas berenang di kolam yang jernih dan melepas segala kepenatan. Tak terasa, hari pun menjelang malam. Jarum jam menunjukkan Pkl. 17.30 Wita. Kami bergegas ke dermaga kayu untuk selanjutnya kembali ke Kampung Rangko untuk melanjutkan perjalanan menuju Bukit Cinta. Bukit yang selama ini menjadi tempat wisatawan menikmati sunset dan bagi kawula muda saling memadu cinta. Dan di Bukit Cinta ini pula kami berpisah untuk kembali berjumpah dalam cinta dan kebersamaan. Terima kasih buatmu, sahabat-sahabat dari Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif serta teman-teman jurnalis.(Kornelis Rahalaka/habis)

Share :

Baca Juga

Feature

Uluran Kasih Dokter Weng untuk Mama Anastasia di Boleng
Kampung Adat Tutubhada. (Foto:BPOLBF)

Feature

Kisah dari Kampung Adat Tutubhada

Feature

Sulitnya Membuka Pikiran Masyarakat

Bumi Manusia

Golkar Matim: Menyapa yang Papah, Menjemput yang Lemah

Feature

Wartawan di Manggarai Timur Gunting Kuku Penderita Gangguan Jiwa

Feature

Menelisik Peran Penting BPO Pariwisata Flores

Feature

Jeritan Hati Warga Pingggiran Wae Kelambu

Bumi Manusia

Bocah Nekat di Balik Layar Pasar Warloka