Menyingkap Fakta Sejarah Batas Wilayah Manggarai-Ngada (Bagian II) | FloresMerdeka

Home / Telusur

Jumat, 15 Januari 2021 - 09:35 WIB

Menyingkap Fakta Sejarah Batas Wilayah Manggarai-Ngada (Bagian II)

Bupati Manggarai periode 2005-2015,, Drs. Christian Rotok sedang memberi penjelasan tentang sejarah batas wilayah Manggarai-Ngada yang ditetapkan leluhur. Foto/ist

Bupati Manggarai periode 2005-2015,, Drs. Christian Rotok sedang memberi penjelasan tentang sejarah batas wilayah Manggarai-Ngada yang ditetapkan leluhur. Foto/ist

Catatan Redaksi

Hosting Unlimited Indonesia

Pro-kontra garis batas wilayah Manggarai (Timur)–Ngada  makin tajam sejak Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat keluarkan Berita Acara No. No. BU.314/44/BPP/2019, tanggal 14 Mei 2019. Elemen masyarakat Manggarai bersikukuh menolak berita acara tersebut. Bahkan DPRD Manggarai Timur melalui Keputusan No. No. 16/DPRD/Tahun 2019, tanggal 26 Agustus 2019 menolak keras usulan baru batas wilayah itu. Alasannya  batas wilayah sudah ditetapkan Gubernur NTT melalui  SK No. 22 Tahun 1973. Namun semua itu sia-sia belaka menyusul Permendagri No 55 Tahun 2020. Seperti apa jejak-jejak sejarah yang ditinggalkan para pelaku dan pencipta sejarah batas wilayah Manggarai- Ngada? Floresmerdeka.com meramunya dari fakta historis, yurudis dan politik  napak tilas batas wilayah Manggarai-Ngada. Tulisan ini membantu kita memahami mengapa elemen Manggarai menolak batas baru wilayah itu. Berikut ini diturunkan secara serial.

Memori Kesepakatan Aimere (2)

Iklan Kementerian Agama

SEMUA fakta yang terjadi di Buntal, Desa Golo Lijun, Kecamatan Elar, Kabupaten Manggarai (Manggarai Timur saat ini-Red) merupakan aktivitas masyarakat perbatasan asal Ngada. Konon aktivitas tersebut  difasilitasi  pemerintah daerah  sendiri. Buktinya. Semua material bangunan rumah dan satu unit lumbung desa berasal dari Pemerintah Ngada. Bahkan, disebut-sebut oknum aparat keamanan terlibat agar proses pembangunan sarana itu berjalan lancar.

Terhadap aktivitas tersebut, masyarakat lokal Manggarai waktu itu tidak tinggal diam. Mereka memantau seluruh kegiatan. Lantaran kegiatan itu dianggap penyerobotan wilayah  Manggarai, maka masyarakat setempat ambil sikap. Tidak tanggung-tanggung. Semua fasilitas yang baru selesai dibangun itu dirusaki  dan dibakar. Seperti gigi ganti gigi. Lantaran kegiatan itu tanpa ada dialog dan komunikasi dengan masyarakat lokal setempat dan Pemerintah Daerah Manggarai maka ‘pembalasannya’ pun dengan cara brutal.

Akibat dari aksi itu. Situasi di Buntal tegang dan memanas. Penuh curiga. Waspada. Maka Pemerintah Kecamatan Elar turun lokasi. Menelusuri kronologis kejadian dan fakta lapangan. Berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan, Camat Elar menyimpulkan seluruh kegiatan warga perbatasan asal Ngada adalah sebentuk upaya terstruktur dan masif untuk geser pilar batas wilayah  KP I dari Labuan Kelambu ke Buntal.

Kesimpulan ini bukan tanpa alasan.Tetapi kasat terbaca dari seluruh aktivitas lapangan di Buntal itu. Karena itu Camat Elar L. Djelahu, BA melalui Surat  No. Pem.75/497, tanggal 20 Juli 1970, Surat No.Pem. 75/306, tanggal 11 Mei 1971 dan Surat No. 75/687, tanggal 17 Oktober 1971 melaporkan kejadian itu kepada Bupati Manggarai.

Laporan Camat Elar diteruskan Bupati Manggarai kepada Gubernur NTT. Mengapa?  Karena hasil kesimpulan fakta lapangan menunjukan bahwa masalah itu sudah masuk area titik batas wilayah dua kabupaten. Penyelesaianya menjadi otoritas Gubernur NTT. Gubernur NTT bertindak cepat. Melalui Instruksi No. 2/1972, tanggal 6 Januari 1972, Surat No. Pem. 66/5/12, tanggal 7 Januari 1972, Surat No Pem. 66/5/7/1972, tanggal 21 Nopember 1972 dan Teleks No. 66/5/41, tanggal 5 Januari 1973, menugaskan Bupati Manggarai dan Bupati Ngada untuk duduk bersama. Musyawarah bersama. Merumuskan formulasi kesepakatan dan solusinya. Maka tanggal 20 Januari 1973.  Bertempat di Aimere Bupati Manggarai dan Bupati Ngada bersama jajaran muspida gelar musyawarah mufakat.

Utusan Pemerintah Daerah Kabupaten Ngada terdiri dari Bupati Ngada, Jan Jos Botha. Sekda Ngada, Lambertus Langajawa. Ketua DPRD Ngada, RB Modo, BA, Wakil Ketua DPRD Ngada, Ibrahim Mbanging. Ketua Komisi I Polhamkam, Alo Bisara. Wakil Ketua Komisi I, P. Wanggu. Hadir pula Wakil Danres Ngada, Ismail, Wakil Buterpra Ngada, N Modo. Asisten I, MJ Nuwaveto, Asisten III, Tyh Jone. Kepala Subdir Agraria, Izaak Tomasoa. Kepala Dubdir Khusus, C Dopo, Kaban Urspus, PY Janga. Pegawai Daerah Ignasius Wawo dan Kepala Japen, AL Billi.

Sedangkan dari Manggarai diwakili Bupati Frans Sales Lega. Sekretaris Daerah  Manggarai, Pius Papu. Ketua DPRD Manggarai, Anton Matutina. Wakil Ketua DPRD Manggarai, Yoseph A Niron. Asisten I, Mehu Martinus. Danres 1711, I Patty. Wakil Komandan Kompi 1612, M Suparin. Ketua PN Ruteng, IB Sudarsana dan Asisten IV,  A.F. Kelilauw.

 Rapat bersama berlangsung pukul 16.00 Wita. Diawali kata pembukaan Bupati Manggarai dan Bupati Ngada.  Sambutan dua pucuk pimpinan wilayah  ini  jelas. Lurus. Tanda tendesius.  Bahwa sesungguhnya persoalan yang terjadi di Buntal bukan masalah tapal batas wilayah Manggarai dan Ngada. Sebab dua pemerintah daerah ini mengakui adanya kesepakatan batas wilayah yang telah ditetapkan para raja.

Hanya saja. Sejak pembentukan kabupaten baru di mana wilayah swapraja menjadi kabupaten sesuai amanat Undang-Undang No. 69 Tahun 1958 tidak ada sosialisasi kepada masyarakat. Itu sebabnya masyarakat akar rumput tidak memiliki pemahaman yang sama tentang  menggarap lahan dan pilar batas. Padahal dua hal itu memiliki substansi yang berbeda.

Oleh karena itu, terkait titik-titik batas wilayah tetap mengacu pada peta topografi tahun 1916 dan tahun 1918. Sedangkan tugas menyamakan persepsi bagi masyarakat akar rumput menjadi tugas masing-masing pimpinan wilayah. Karena itu fokus rapat sebagaimana disarankan Bupati Ngada, Yan Yos Botha langsung menukik pada  inti rekomendasi yang harus dihasilkan guna melaporkan kepada Gubernur NTT. Sebab isi amanat dan perintah Gubernur NTT adalah musyawarah bersama menetapkan batas wilayahnya.

Dari seluruh lalulintas musyawarah. Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai dan Pemerintah Daerah Kabupaten Ngada berhasil menetapkan enam butir kesepakatan bersama. Enam butir kesepakatan tersebut dirumuskan sebagai pernyataan bersama untuk diteruskan kepada Gubernur NTT.

Dalam diktum pernyataan bersama disebutkan, pertama bahwa sejarah geografis wilayah bekas Swapraja Manggarai dan Swapraja Riung yang dilanjutkan dengan pembentukan pemerintahan bekas Onder Afdeling Manggarai dan bekas Onder Afdeling Ngada pada masa pemerintahan Hindia Belanda  dipertegas dalam  peta topografi  tahun 1916 dan tahun 1918.

 Kedua, sejarah pembentukan daerah-daerah kabupaten dalam bekas administrasi Nusa Tenggara berdasarkan Undang-Undang No. 69 Tahun 1958 yang menentukan wilayah geografis masing-masing daerah kabupaten. Antara lain daerah Kabupaten Ngada meliputi bekas wilayah jurisdiksi Swapraja Ngada, Swaparaja Riung, dan Swapraja Nagekeo. Daerah Kabupaten Manggarai meliputi bekas wilayah jurisdiksi Swapraja Manggarai.

Ketiga, Undang-Undang No. 69 Tahun 1958 dan Undang-Undang No.18 Tahun 1965. Keempat, musyawarah bersama Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai dan Pemerintah Daerah Kabupaten Ngada.

Adapun enam butir kesepakatan yang dihasilkan. Pertama batas wilayah Kabupaten Manggarai dan Kabupaten Ngada tetap atau tidak berubah sesuai peta historis topografis tahun 1916 dan tahun 1918. Kedua Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai dan Pemerintah Daerah Ngada menegakkan kembali tonggak pilar perbatasan yang  tidak jelas di tempat-tempat yang perlu sepanjang garis perbatasan dari utara ke selatan.

Mulai dari Labuan Kelambu/Nanga Waru, Wae Baka, Hulu Wae Baka, Golo Lentung, Golo Tana Peta, Golo Mogel, Golo Bokakarusa, Golo Watu Weri, Golo Tagang, Golo Mara Kolong, Golo Poso Naur. Hulu Alo Deda, Hulu Alo Mola Timur, Hulu Wae Goong menuju Wae Mapar ke pertemuan Wae Mokel hingga muara  teluk Aimere.

Ketiga, apabila terdapat rakyat dari masing-masing kabupaten ingin berdomisili di salah satu daerah kabupaten, maka rakyat tersebut harus bersedia menjadi rakyat dari daerah kabupaten yang bersangkutan. Sedangkan jika ada rakyat yang berdomisili di salah satu kabupaten ingin menggarap tanah di daerah kabupaten lain, maka rakyat yang bersangkutan wajib membayar ipeda kepada kabupaten di mana yang bersangkutan menggarap tanah.

Keempat, lumbung desa di Buntal, Desa Golo Lijun, Kecamatan Elar yang dibangun warga Desa Sambi Nasi, Kecamatan Riung, Kabupaten Ngada yang telah dibongkar warga Desa Golo Lijun, Kecamatan Elar diganti Pemerintah Daerah  Kabupaten Manggarai sebesar Rp 100.000,00. Kelima, penegasan kepada rakyat Sambi Nasi dan Golo Lijun dilaksanakan oleh kedua pemerintah. Keenam, penertiban terhadap pelaksanaan pernyataan penegasan dilaksanakan oleh pemerintah daerah masing-masing.

Enam butir kesepakatan  tersebut dituangkan  dalam  SK No. Khusus/1973. Ditandatangan Bupati Manggarai, Frans Sales Lega dan Bupati Ngada, Jan Jos Botha. Tembusan diserahkan kepada Gubernur NTT. Ketua DPRD Propinsi NTT, Muspida Propinsi NTT, Ketua DPRD Kabupaten Manggarai, Ketua DPRD Kabupaten Ngada, Muspida Manggarai dan Ngada, para camat sekabupaten Ngada dan Manggarai serta kepala desa di wilayah perbatasan.

 Merujuk kesepakatan  bersama  SK No. Khusus//1973, tanggal 20 Januari 1973, Gubernur NTT mengeluarkan SK No. 22 Tahun 1973, tanggal 16  Maret 1973. SK ditanda tangan Sekretaris Urusan Bidang Administrasi I Propinsi Nusa Tenggara Timur, Drs. Umbu Tonga. Intinya menegaskan,batas wilayah Manggarai dan Ngada tetap atau tidak berubah sebagaimana tercantum dalam peta geografis tahun 1916 dan  tahun 1918.

Namun Pernyataan Bersama Aimere tanggal  20 Januari Tahun 1973  dan SK Gubernur NTT No. 22 Tahun 1973 tidak dilaksanakan sebagaimana  mestinya. Akibatnya kondisi di lapangan serta aktivitas ikutan oleh warga perbatasan tidak terpantau dengan baik. Di sini nampaknya warga perbatasan menjalankan aktivitas berdasarkan keinginan dan konsep pemahamannya. Sementara pemerintah yang diharapkan segera memastikan batas wilayah dan menetralkan pemahaman warga tidak berjalan semestinya.

Realitas ini memperlihatkan kelemahan. Tidak hanya di pihak warga perbatasan akibat keterbatasan pemahaman mereka.Tetapi juga  sikap pemerintah yang diharapkan secepatnya mengeksekusi kesepakatan dan SK yang ditetapkan Gubernur NTT tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Tidaklah mengheran-kan masalah itu berlarut-larut. Warga perbatasan melaksanakan aktivitasnya berdasarkan keinginan dan pemahaman masing-masing pihak.  (FMC.Net/bersambung)

Share :

Baca Juga

Nikolaus Taman,S.Pd

Sudut Pandang

Mengenal Para Pemilih Fanatik Rasional

Editorial

Paradoks Kawasan Strategis Pariwisata Nasional

Telusur

Menyingkap Fakta Sejarah Batas Wilayah Manggarai-Ngada ( Bagian IX)

Telusur

Drama Cinta Berujung Dusta Seorang Polisi (Bagian IV)

Telusur

Menyingkap Fakta Sejarah Batas Wilayah Manggarai-Ngada (1)

Sudut Pandang

“Komodo” di Persimpangan Jalan Politik
Kawasan Menjerite/Rangko yang disengketakan

Bedah Kasus

Membongkar Mafia Tanah di Mabar (1)

Telusur

Mengusut Asal Kampung Lengko Lolok (2)