Membongkar Mafia Tanah di Mabar (1) - FloresMerdeka

Home / Bedah Kasus / Telusur

Rabu, 16 September 2020 - 09:51 WIB

Membongkar Mafia Tanah di Mabar (1)

Kawasan Menjerite/Rangko yang disengketakan.(Foto: Flores Merdeka)

(Kasus Tanah Menjerite/Rangko: Bagian I)

Catatan redaksi:
Struktur kepemilikan tanah di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) dan sekitarnya menjadi persoalan yang serius belakangan ini. Sebagian pengamat menyebutnya sebagai “bom waktu” yang kapan saja bisa meluluhlantakan solidaritas sosial dan budaya masyarakat setempat jika tidak dirunut-urai secara detil, mendalam, serius dan komprehensip. Mengapa tidak, persoalan yang muncul ke permukaan beragam, mulai dari semakin tidak terkontrolnya jual beli tanah karena pasar yang menggiurkan, dan permainan kotor para calo baik lokal maupun asing.

Konflik pun terjadi antara para pemilik tanah dan pembeli, antara pembeli dengan pembeli, antara masyarakat dengan pemerintah sampai dengan kaburnya peran masyarakat adat. Floresmerdeka.com menurunkan secara berseri hasil penelusuran Pater Dr. Alexander Jebadu, SVD tentang kasus tanah Kawasan Menjerita/Rangko, Kecamatan Boleng, Kabupaten Manggarai Barat.Selamat membaca!

Fenomena perampasan tanah warga masyarakat desa di Manggarai Barat khususnya di wilayah persekutuan masyarakat adat Boleng bukan hanya dilakukan oleh para calo tanah tetapi juga oknum pemerintah negara atas nama pembangunan. Pelaku lain adalah para oligarchi, pengusaha besar dan bule dari luar negeri yang memboncengi program nasional, membangun Labuan Bajo menjadi destinasi pariwisata premium.

Masyarakat desa yang terancam akan kehilangan tanah sebagai sumber hidup bangkit membangun persekutuan di antara mereka untuk mempertahankannya. Kebangkitan masyarakat Boleng, Kabupaten Manggarai Barat, Flores, NTT ditandai dengan membentuk Kesatuan Adat Wa’u Pitu Gendang Pitu Tana Boleng. Wadah ini didirikan sebagai medan perjuangan mempertahankan hak-hak tanah warisan leluhur mereka.

Gambaran Umum Tatanan Adat Manggarai

Boleng merupakan sebuah Hamente alias Kedaluan sekitar abad XVI sampai dengan tahun 1950-an. Ada tiga beo (kampung) yang pernah menjadi pusat kepemerintahan kedaluan, yaitu Beo Mbuit, Beo Mbehal dan Beo Rareng. Oleh karena pada masa tertentu orang yang terpilih dan berkuasa sebagai dalu berasal dan tinggal di Kampung Mbuit maka ia disebut Dalu Mbuit.

Pada masa tertentu, orang yang terpilih dan berkuasa sebagai dalu berasal dan tinggal di Mbehal maka ia disebut Dalu Mbehal. Demikian halnya dengan Dalu Rareng karena ia berasal dan tinggal di Kampung Rareng. Walau tinggal di kampung-kampung ini, ketiga dalu merupakan dalu yang memerintah seluruh tanah Boleng.

Sekarang ini Kampung Mbuit telah berkembang menjadi Kampung Bentala di Lando, wilayah Terang. Kampung Mbehal dari dulu hingga sekarang tetap disebut Kampung Mbehal dan Kampung Rareng tetap disebut Kampung Rareng yang terletak di dekat Wae Bobok yang sekarang ini telah dibangun sebuah wisata alam/ rest area di tengah hutan persis di Jalan Provinsi Labuan Bajo-Boleng-Pacar-Rego-Reo.

Di wilayah bekas Hamente atau Kedaluan Boleng yang demikian, dari dulu hingga sekarang tujuh (7) Rumah Adat Gendang (RAG). Artinya, ada tujuh kampung utama yang memiliki gendang sebagai simbol yang menandai tujuh kampung itu masing-masing: 1) mengakui diri sebagai penduduk asli tanah tersebut, 2) mengakui berasal dari satu nenek moyang, 3) memiliki hal ulayat atas lahan pertanian dan hutan dengan batas-batasnya sendiri.

Kekuasaan atas lahan pertanian dan hutan dengan batas-batasnya masing-masing diakui oleh masing-masing Kampung Gendang, mentaati dan menghormatinya. Rumah adat gendang dan penguasaan lahan pertanian dalam sistem rumah adat gendang, seluruh lahan pertanian dengan batas-batasnya dimiliki dan dikuasai secara bersama atau secara komunal oleh seluruh warga yang menjadi anggota dari satu rumah adat gendang.

Salah satu konsekuensi dari kepemilikan dan penguasaan secara bersama ini adalah bahwa setiap individu tidak mempunyai kuasa untuk menggadai atau menjual tanah kepada pihak luar yang bukan merupakan anggota dari keluarga rumah adat gendang. Setiap warga yang menjadi anggota keluarga bisa mendapat pembagian tanah untuk usaha pertanian dengan luas sesuai dengan kemampuannya.

Seorang asing yang bukan merupakan anggota keluarga warga rumah adat gendang, yang lasim disebut dengan istilah ata pola sola lele kantih (pendatang), bisa mendapat pembagian lahan pertanian yang dibagi menurut sistem Lingko Lodok.

Dulu, ia bisa memohon pembagian lahan cukup hanya dengan membawa minuman tuak dan satu ekor ayam sebagai tanda hormat kepada warga pemilik gendang yang diwakili oleh Tu’a Teno dan sebagai tanda pengakuan akan dirinya bahwa ia bukan anggota keluarga seketurunan dari rumah adat gendang tersebut.

Sebagai pendatang, ia hanya diberi hak mengerjakan sebagian dari tanah komunal ini dan 100% hasilnya merupakan milik kepunyaannya. Ia tidak diperlakukan seperti seorang penggarap (tenants) dalam sistem tuan tanah (landlord) di mana sebagian hasil usaha pertanian dari kebunnya diberikan kepada tuan tanah.

Sama seperti anggota warga yang memiliki gendang, seorang pendatang, ata pola sola lele kantih tadi, tidak berhak untuk menjual atau menyerahkan tanahnya kepada pihak lain sesuka hatinya.

Seperti yang berlaku di seluruh Manggarai, setiap Kampung Gendang memiliki sistem sosial dan kepemerintahannya sendiri (pemerintahan masyarakat tradisional). Setiap kampung dengan sebuah rumah adat gendang bersifat independen. Kampung-kampung dengan rumah adat gendang tidak saling memerintah atau menguasai.

Di antara mereka, tidak ada kampung dengan umah adat gendang yang kedudukannya lebih tinggi dan tidak ada kampung dengan rumah adat gendang yang kedudukannya lebih rendah. Semua kampung dengan rumah adat gendang di dalamnya mempunyai hak dan kedudukan yang sama tinggi, dan mereka 100% otonom.

Artinya mereka 100% mengurus rumah tangganya sendiri dan memerintah diri sendiri, entah di bidang sosial, ekonomi, politik atau di bidang keagamaan. Struktur sosial ekonomi dan politik rumah gendang struktur dasar kepemerintahan sebuah rumah adat gendang Manggarai adalah Tu’a Gendang, Tu’a Teno, Tu’a Panga dan Tu’a Kilo serta Tu’a Golo. Secara harafiah, tu’a artinya orang yang sudah tua, yang sudah berumur atau yang dituakan. Sedangkan secara sosial-politis, tu’a di sini lebih dimengerti sebagai pemimpin atau pemerintah.

Pertama, Tu’a Gendang adalah pemimpin umum dan tertinggi yang mengatur dan mengkoordinir seluruh kehidupan sosial, ekonomi dan politik dari seluruh warga masyarakat dari satu rumah adat gendang. Ia memimpin pertemuan warga rumah adat gendang yang biasanya semua keputusan diambil berdasarkan sistem musyawarah untuk mencapai kesepakan bersama.

Sehubungan dengan sidang-sidang dalam rangka mencapai kesepakatan bersama ini, misalnya, ada ungkapan-ungkapan popular orang Manggarai yang berbunyi: “Lonto leok bantang sama reje leleng. Sama lewang ngger pe’ang sama po’et ngger one” (dialek Rego) yang artinya “Duduk bersimpuh untuk musyawarah dalam rangka mencapai kesepakatan bersama. Kita mesti bersatu secara internal sebagai satu keluarga supaya kita juga kuat dalam 3 rangka menghadapi kelompok masyarakat lain atau dalam rangka melawan musuh di luar lingkaran keluarga kita.”

Tu’a Gendang memimpin seluruh pertemuan yang menyangkut kepentingan umum warga masyarakat termasuk pertemuan dalam rangka menyelesaikan konflik sosial dan konflik ekonomi yang umumnya berhubungan dengan tanah atau batas-batas kebun (lanse uma) antara dua individu atau konflik moral, konflik perkawinan, konflik dengan warga dari kampung lain atau dari anggota RAG yang lain.

Selain pemimpin yang disebut Tu’a Gendang, ada juga pemimpin yang disebut Tu’a Adat dan Tu’a Ulayat. Dari satu wilayah ke wilayah lain di Manggarai, ada sedikit perbedaan antara Tu’a Gendang, Tu’a Adat dan Tu’a Ulayat. Tu’a Adat adalah seorang pemimpin dalam RAG yang mengetahui dan mengatur segala hukum adat dari dan bagi warga RAG bersangkutan.

Sedangkan Tu’a Ulayat adalah seorang pemimpin dalam RAG yang memimpin kepemilikan dan penguasaan seluruh lahan pertanian dari sebuah RAG dengan batas-batasnya sudah ditetapkan dan diakui oleh RAG gendang lain yang merupakan tetangganya. Namun dalam pelaksanaannya, Tu’a Adat dan Tu’a Ulayat bisa dipangku oleh pemimpin yang sama yaitu Tu’a Gendang.

Kedua, tokoh masyarakat yang disebut Tu’a Teno adalah seseorang di dalam sistem sosial dan kepemerintahan dari satu RAG yang ditunjuk sebagai pengatur dan pembagi lahan pertanian. Jika dibandingkan dengan kabinet kepemerintahan negara, ia berperan seperti seorang Menteri Pertanian atau Menteri Ekonomi.

Dalam sistem ladang pertanian yang berpindah-pindah pada zaman dulu, ia bertugas untuk memutuskan tempat pembukaan kebun baru yang disebut “tente teno lodok uma weru”. Satu Lingko Lodok dibagi kepada sekitar 5 hingga 8 orang keluarga atau individu. Pada zaman ladang berpindah-pindah tempo dulu, setelah kebun Lingko Lodok ini dibagi, ia dikerjakan untuk ditanami bermacam-macam tanaman jangka pendek seperti padi, jagung dan ubi-ubian selama dua hingga tiga tahun.

Ia dikerjakan satu kali sebagai uma rana (kebun baru) dan satu dua kali uma lokang (kebun lama atau tua). Setelah beberapa tahun, seorang Tu’a Teno akan mengomando seluruh warga anggota kebun Lingko Lodok tersebut untuk melepaskan kebun tersebut (lego uma).

Katakan saja, misalnya, kebun yang diminta untuk diistirahatkan itu adalah Lingko Lodok A. Tujuannya adalah untuk mengembalikan kesuburannya. Para petani mesti berpindah untuk membuka kebun Lingko Lodok yang baru di tempat lain. Sebut saja kebun Lingko Lodok baru itu adalah kebun Lingko Lodok B.

Setelah dua tiga tahun, Lingko Lodok B dilepaskan untuk disuburkan kembali secara alamiah dan di bawah pimpinan Tu’a Teno warga masyarakat harus pindah untuk membuka kebun baru di tempat lain yang disebut saja kebun Lingko Lodok C. Lalu dari kebun Lodok C mereka pindah ke D.

Lalu setelah kebun Lingko Lodok D diistirahatkan untuk mengembalikan kesuburannya, maka warga masyarakat pemilik RAG ini bisa dikomando untuk mengerjakan kembali kebun Lodok Lingko A yang diperkirakan sudah menjadi hutan lagi dan menjadi subur kembali setelah dilepas sekitar sepuluh sampai 20 tahun.

Dalam kesepakatan untuk mengerjakan kembali kebun Lingko Lodok A ini, keluarga atau individu yang mengerjakannya pada sepuluh atau dua puluh tahun sebelumnya bisa dengan 4 bebas memperoleh kembali bagiannya masing-masing menurut pembagian tempo dulu itu tapi bisa juga tidak.

Orang tidak harus mengklaim pembagian yang diperolehnya pada pembagian tempo dulu itu. Kalau karena alasan tertentu ia tidak mau kembali mengerjakan pembagiannya yang diperoleh sepuluh atau dua puluh tahun itu, maka lahan bekas pembagian untuk dirinya bisa diberikan Tu’a Teno kepada orang lain yang mau.

Hal ini sebagai konsekuensi dari Hukum RAG Manggarai bahwa lahan pertanian tidak dimiliki secara individual tetapi secara komunal oleh seluruh warga masyarakat dari satu RAG yang merunut pertalian keluarga mereka karena berasal dari satu nenek moyang.

Akan tetapi sejak tahun 1950-an, sistem ladang berpindah ini secara perlahan-lahan ditinggalkan karena program baru dari pemerintah Negara Republik Indonesia di bidang pertanian. Program baru itu adalah, antara lain, warga masyarakat petani di seluruh Indonesia, termasuk di Manggarai, Flores, didorong untuk menanam tanaman umur panjang seperti pisang, pinang, kelapa dan kopi, selain tanaman jangka pendek seperti padi, jagung dan ubi-ubian.

Maka sejak tahun 1950-an warga masyarakat dari satu RAG Manggarai yang mengaku berasal dari satu keturunan dan juga pendatang (ata pola sola lele kantih) mulai menanam tanaman jangka panjang pada kebun-kebun mereka dan seakan-akan menjadi miliknya secara permanen. Merekapun mulai buat batas kebun dengan menggali parit keliling (ngali uma) atau susun batu-batu pembatas (watu kota atau watu katur).

Namun sampai hari ini (tahun 2020), sambil tetap mentolerir kepemilikan tetap atas lahan-lahan pertanian ini oleh warga dari satu RAG, Tu’a Gendang bersama seluruh warganya tetap mengklaim bahwa dari segi hukum RAG di bidang pertanahan, semua lahan pertanian tetap dimiliki secara komunal di bawah pimpinan umum dari Tu’a Gendang.

Konsekuensinya, warga masyarakat dari satu RAG seharusnya tidak memiliki hak untuk menjual lahan pertanian yang menjadi bagiannya kepada orang lain, khususnya kepada orang asing, termasuk kepada warga dari RAG tetangga mereka. Perubahan pemahaman di ranah ini kerap kali menjadi pemicu konflik sosial ekonomi pada setiap kampung di Manggarai dewasa ini.

Ketiga, Tu’a Panga. Tokoh masyarakat dalam sebuah Rumah Adat Gendang yang disebut Tu’a Panga adalah seorang kepala satuan keluarga. Untuk memahami apa yang disebut tu’a panga sebagai kepala satuan keluarga ini, dibutuhkan uraian khusus mengenai istilah panga.

Kata panga artinya cabang. Istilah ini diambil dari metafora pohon. Sebuah pohon memiliki satu batang utama. Lalu semakin lama bertumbuh dan berkembang, ia semakin menjadi sebuah pohon yang memiliki beberapa cabang utama. Lalu dari setiap cabang utama akan muncul cabang-cabang baru yang disebut ranting-ranting.

Dengan demikian, pada sebuah pohon, mula-mula ada batang utama, lalu ada beberapa cabang utama dan kemudian ada ranting-ranting dari setiap cabang utama.

Susunan keluarga dalam satu RAG kurang lebih seperti sebuah pohon. Semua warga di dalam satu RAG berasal dari satu nenek moyang yang satu dan sama. Nenek moyang ini berperan seperti batang pohon. Dengan demikian, mereka adalah orang-orang yang berasal dari satu keturunan yang sama dari satu pohon nenek moyang. Dalam perjalanan waktu, keluarga dari satu RAG yang berasala dari satu pohon nenek moyang ini bisa mekar menjadi beberapa cabang keluarga.

Tiap cabang keluarga ini disebut panga dan pemimpinnya disebut Tu’a Panga. Oleh karena orang Manggarai menganut sistem patrilineal, maka jumlah cabang keluarga yang disebut panga ini sesuai dengan jumlah anak-anak pria dari nenek moyang pertama. Misalnya, nenek moyang pertama mempunyai 2 anak laki-laki. Katakan saja, nenek moyang pertama, yang lasim disebut empo tertua-tersai (dialek Rego), bernama Empo Totemang (Nenek Totemang).

Lalu Empo Totemang menurunkan Empo Lami sebagai kakak dan Empo Beang sebagai adik. 1) Empo Lami menurunkan anak laki-laki atas nama, misalnya, Lebar dan Munjal. 1a) Lebar menurunkan anak laki-laki atas nama Ansek dan Lombong. 1a1) Ansek menurunkan Soleman, Jega, Ngahi dan Dola. 1a2) Lombong menurunkan Deleng. 1b) Munjal menurunkan Wesak, Laweh dan Uwa. 1b1) Wesak menurunkan Ewang, Simur dan Butung. 1b2) Laweh menurunkan Sunga dan 1b3) Uwa menurunkan Mura.

2) Empo Beang menurukan anak laki-laki atas nama, misalnya, Lewa dan Tenda. 2a) Lewa menurunkan Gorak dan Lebang. 2b) Tenda menurunkan Lebang dan Pekang. Hingga sampai pada lapisan tertentu, katakan saja pada lapisan Lami dan Beang, keluarga dari satu turunan Empo Totemang masih merupakan satu panga saja.

Hal ini ditandai dengan kenyataan bahwa dalam rangka upacara keagamaan untuk menyembah Wujud Tertinggi sebagai Allah Pencipta pada setiap upacara syukuran panen yang disebut Penti, mereka mempersembahkan hanya satu hewan kurban yaitu satu ekor babi (sa ha’i ela).

Akan tetapi hingga pada lapisan keturunan 1a) Lebar dan 1b) Munjal di satu sisi dan keturunan 2a) Lewa dan 2b) Tenda di sisi lain, keluarga dari satu nenek moyang Empo Totemang ini sudah dirasa terlalu besar dan karena itu harus dimekarkan menjadi dua cabang atau panga sehingga menjadi I) Panga de Lami yang disebut Panga Ka’e (Cabang Keluarga Kakak) dan II) Panga de Beang yang disebut Panga Ahe (Cabang Keluarga Adik).

Keluarga dari satu RAG mengalami pemekaran karena keluarga ini sudah berkembang menjagi satu keluarga besar dengan anggota yang banyak seperti yang terjadi dengan keluarga 1a dan 1b dalam contoh di atas yang memisahkan diri dari keluarga 2a dan 2b sehingga menjadi dua panga.

Akan tetapi pemekaran itu juga bisa terjadi karena konflik internal keluarga yang umumnya berhubungan dengan masalah perkawinan. Dalam contoh di atas, misalnya, Keluarga 1b (Munjal) memisahkan dirinya dengan keluarga 1a (Lebar) menjadi dua panga baru yaitu Panga Lebar dan Panga Munjal. Sehingga secara keseluruhan, dalam RAG ini ada tiga panga yaitu 1) Panga Lami, 2) Panga Lebar dan 3) Panga Munjal.

Masyarakat adat Gendang Mbehal sedang menggelar upacara adat di atas tanah ulayat Menjerite. (Foto: Flores Merdeka)

Keturunan dari ketiganya merupakan satu keluarga besar dari satu nenek moyang Empo Totemang dari satu RAG yang sama dengan pengklaiman lahan pertanian yang sama dengan batas-batasnya sendiri. Dalam upacara keagamaan untuk menyembah Wujud Tertinggi sebagai Allah Pencipta ketiga panga ini masing-masing mempersembahkan seekor hewan kurban berupa babi sehingga totalnya menjadi tiga ekor babi persembahan.

Berdasarkan babi kurban ini, setiap panga kerap kali disebut juga ha’i ela sehingga disebut 1) Ha’i Ela de Lami atau Panga de Lami, 2) Ha’i Ela de Lebar atau Panga de Lebar dan 3) Ha’i Ela de Munjal atau Panga de Munjal. Lalu pemimpin dari setiap cabang utama keluarga ini disebut Tu’a Panga.

Keempat, Tu’a Kilo. Secara harafiah, kata bahasa Manggarai kilo artinya kamar atau satuan unit keluarga yang paling kecil di dalam setiap panga yang terdiri dari suami, istri dan anakanak.Lalu pemipinnya disebut Tu’a Kilo.

Kelima, Tu’a Golo. T’ua Golo adalah seorang kepala kampung dalam sistem masyarakat tradisional Manggarai. Secara harafiah golo artinya bukit atau gunung. Pada zaman dulu, orang Manggarai mempunyai kecenderungan untuk membangun kampung yang menjadi tempat tinggal mereka di atas bukit-bukit atau di puncak gunung-gunung. Atas dasar itu, kampung-kampung mereka disebut golo yang secara harafiah artinya bukit atau gunung tapi yang dimaksudkan adalah kampung.

Misalnya bila dikatakan bahwa Si A dan B tinggal di Golo Tado maka yang dimaksudkan adalah bahwa si A dan B tinggal di Kampung Tado. Tu’a Golo bisa sekaligus memangku jabatan Tu’a Gendang dengan perannya seperti telah diuraikan sebelumnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa Tu’a Golo sama dengan Tu’a Gendang. Akan tetapi bisa juga terjadi bahwa di dalam satu kampung ada dua atau lebih RAG.

Itu artinya, sudah dari dahulu kala di kampung bersangkutan sudah ada dua atau lebih keluarga yang masing-masing mempunyai nenek moyang berbeda yang tidak mempunyai hubungan darah sama sekali.

Menurut sejarah, kedua nenek moyang yang tidak mempunyai hubungan darah satu sama lain ini tiba di tempat yang kemudian menjadi kampung itu secara bersamaan atau satu tiba sesudah yang lain. Sebagai konsekuensinya, mereka dan keturunan mereka mendirikan RAG masing-masing dengan batas-batas lahan pertanian masing-masing juga.

Di kampung Rego, misalnya, ada dua buah RAG yaitu RAG Rego dan RAG Lenggo. Menurut sejarah, kedua nenek moyang dari warga RAG Rego dan nenek moyang warga RAG Lenggo tiba di Golo atau Kampung Rego satu sesudah yang lain. Untuk menjalin persahabatan antara keduanya, maka mereka saling mengawini anak-anak keturunan mereka.

Orang dari RAG Lenggo mengambil anak gadis warga RAG Rego sehingga orang Lenggo menjadi anak wina (wife receivers) dan orang Rego menjadi anak rona (wife receivers). Selain itu, di setiap kampung di Manggarai biasanya tetap ada satu dua orang asing yang mengawini anak gadis dari warga sebuah RAG dan memilih untuk menetap di sana.

Dia dan keturunannya tidak dianggap sebagai anggota seketurunan dengan warga RAG bersangkutan tapi bisa bernaung di bawah hukum RAG bersangkutan.

Dalam kasus seperti yang terjadi di Kampung Rego di atas, di mana di dalamnya ada dua RAG, perlu ada satu pemimpin utama yang mengatur kepentingan bersama seluruh warga kedua RAG yang mendiami satu kampung yang sama ini. Bertolak dari apa yang dipraktikkan di Rego, pemimpin yang membawahi seluruh warga masyarakat kedua RAG ini kemudian disebut Tu’a Golo. Ia menjadi kepala bagi seluruh warga kampung yang melampaui dua RAG yang dimilikinya.

Kesatuan hubungan darah keluarga rumah adat gendang seluruh warga dari satu RAG sebagai satu keluarga yang mengaku berasal dari satu nenek moyang diungkapkan oleh struktur dasar dari sebuah RAG.

RAG memiliki beberapa unsur utama dengan maknanya masing-masing sebagai berikut: 1) tiang induk utama (siri bongkok), 2) gasing (mangka), 3) dua buah genderang (gendang) dan 4) satu buah genderang yang berukuran lebih kecil (tembong) dari dua buah genderang tadi.

Tiang induk utama yang disebut Siri Bongkok terletak di tengah-tengah RAG dan dipancang menjulang tinggi dari tanah hingga mencapai bubungan paling atas dari RAG yang dibangun 7 seperti bentuk bangunan Piramide.

Di bubungan atas dari RAG ini dipajang sebuah gasing yang diapiti kayu ukiran dengan wajah manusia dan dua tanduk kerbau. Tiang induk (Siri Bongkok) merupakan lambang ibu dari seluruh warga RAG.

Karena itu sebelum memotong tiang induk ini, warga masyarakat melakukan sebuah upacara khsusus seperti mereka sedang meminang seorang gadis dan menghantarnya ke kampung halaman mereka sama seperti mereka menghantar seorang wanita baru dari suku lain untuk menjadi salah seorang ibu yang akan melahirkan anak-anak bagi suku mereka (upacara roko wina).

Lagu-lagu yang mereka nyanyikan adalah lagu-lagu yang persis mereka nyanyikan dalam menyambut seorang istri baru yang diambil dari suku lain dalam upacara roko wina. Gasing, kayu ukiran wajah manusia dan dua tanduk kerbau di bubungan atas bagian luar dari RAG merupakan sebuah kesatuan yang melambangkan Allah yang diyakini bertahta di langit dan karena itu lasim disebut Ame Eta (Allah-Langit).

Gasing itu sendiri sebenarnya merupakan simbol dari alat kejantanan dari Yang Ilahi. Lalu orang Manggarai membayangkan bahwa Ibu Bumi (Ine Wa) yang disimbolkan dengan Tiang Induk Siri Bongkok dikawini secara mistik oleh Yang Ilahi (Ame Eta) maka lahirlah seluruh warga dari RAG tersebut. Dengan demikian, ini sebenarnya merupakan sebuah teologi penciptaan menurut kepercayaan agama asli orang Manggarai.

Setiap RAG memiliki dua genderang besar yang bisa ditabuh bagian muka dan bagian belakang. Keduanya merupakan simbol suami dan istri (gendang wina – gendang rona) atau ayah dan ibu di dalam setiap keluarga kecil. Itu sebabnya orang Manggarai katakan: “Winarona de gendang” yang artinya “Dua genderang itu adalah lambang suami dan istri”.

Satu genderang yang lebih kecil lagi, yang lasim disebut tembong, merupakan simbol para leluhur yang berada di balik ayah dan ibu yang diwakili oleh dua genderang yang lebih besar. Oleh karena itu genderang yang lebih kecil ini lasim disebut tembong atau gendang ine yang artinya genderang induk utama.

Dengan demikian, ketiga genderang ini mengingatkan orang bahwa di balik seorang pribadi manusia ada ayah dan ibu yang melahirkan setiap warga dari sebuah RAG dan di balik ayah dan ibu ada generasi pendahulu yaitu para leluhur yang disimbolkan oleh satu buah genderang yang lebih kecil atau tembong.* (FMC/ bersambung).

         

Share :

Baca Juga

Telusur

Paradoks Komodo Warisan Dunia (1)

Sudut Pandang

“Komodo” di Persimpangan Jalan Politik

Telusur

Proyek Geothermal Wae Sano, Antara Fakta dan Rekayasa

Telusur

Menyingkap Fakta Sejarah Batas Wilayah Manggarai-Ngada ( Bagian IX)

Telusur

Mengusut Asal Kampung Lengko Lolok (2)

Telusur

Paradoks Komodo Warisan Dunia (2)

Editorial

Paradoks Kawasan Strategis Pariwisata Nasional

Telusur

Menyingkap Fakta Sejarah Batas Wilayah Manggarai-Ngada (1)