Sekembalinya dari peperangan Todo, Jawa Tu Nai Patty menjalankan kegiatan hariannya di Sambi Lewa. Hidup layaknya dengan warga sekitar. Namun beberapa tahun kemudian. Lambat laun kondisi lingkungan dan perkampungan di Sambi Lewa dan sekitarnya mulai terancam. Terutama maraknya pencarian manusia untuk dijadikan hamba sahaya dan serdadu perang. Apalagi Jawa Tu Nai Patty sudah tua. Tenaga dan kekuatannya sudah kusut.
Karena itu Jawa Tu Nai Paty bersama warga setempat sepakat mendatangkan dua loh batu besar untuk menutup pintu gerbang masuk kampung.
Menurut kisah lisan, sebagaimana dituturkan Markus Bana. Jawa Tu Nai Patyy mengirim utusannya mencari batu sesuai kebutuhan itu. karena itu, hampir seluruh wilayah Manggarai ditelisik. Mencari batu dimaksud.
Ketika utusan Jawa Tu Nai Patty hendak pulang, mereka menyisir wilayah selatan. Saat itulah mereka menemukan dua loh batu yang dibutuhkan itu. Dua loh batu yang dimaksudkan itu, ada di Watu Lajar-Todo.
Utusan Jawa Tu Nai Patty menginformasikan lokasi dua loh batu itu ditemukan. Maka Jawa Tu Nai Patty mengutus utusannya untuk bertemu Raja Todo. Meminta agar dua loh batu itu dizinkan, untuk dipindahkan ke Sambi Lewa.
Lantaran antara Raja Todo dengan Jawa Tu Nai Patty ada hubungan khusus, maka Raja Todo tidak keberatan dengan permintaan itu. Dua loh batu diizinkan, jika sangat membutuhkan.
Maka sesuai rencana berangkatlah delapan orang utusan Jawa Tu Nai Patty pergi ke Watu Lajar-Todo untuk angkut dua loh batu itu. Anggota rombongan termasuk salah seorang pria asal Bajawa. Kebetulan pria itu sedang berada di Sambi Lewa. Ketika mendengar rencana akan pergi ke Watu Lajar-Todo, pria asal Bajawa itu menawarkan diri untuk ikut. Jawa Tu Nai Patty tidak keberatan dengan tawaran itu. Asalkan pria asal Bajawa itu patuhi seluruh perintahnya.
Sebelum berangkat ke Watu Lajar-Todo delapan orang utusan ini mendapat wejangan dari Jawa Tu Nay Patty. Tujuannya agar mereka selamat dalam perjalanan. ‘Bersih’ dari godaan. Sebab mereka pergi tanpa membawa apa pun. Meski demikian mereka harus ekstra hati-hati. Bagaimana proses mengambil dua loh batu itu agar bisa tiba di pintu masuk kampung sebelum ayam berkokok tiga kali.
Proses evakuasi berjalan lancar. Dalam waktu sekejap dua loh batu itu sudah mereka angkut. Hal itu diyakini karena leluhur Todo merestuinya. Dua loh batu ini menjadi tanggung jawab delapan utusan. Mereka terbagai dalam dua kelompok. Kelompok pertama bagian depan batu. Kelompok kedua bagian belakangnya.
Mereka pikul batu itu hingga tiba di tengah kampung Sambi Lewa sebelum larut malam. Maka diputuskan untuk istirahat sambil menunggu tanda ayam jantan berkokok agar batu itu boleh diletakkan pada tempat di Nua Komba-pintu masuk kampung.
Cukup lama mereka istirahat. Bahkan ada diantara mereka nyenyak tidur. Setelah ayam berkokok tiga kali mereka mulai bergegas angkut batu itu. Apesnya pada saat itu bagian pinggir salah satu sudut batu menyentuh ‘bere’ (tas dalam bahasa lokal Bajawa) warga asal Bajawa yang ikut serta dalam prosesi angkut batu itu.
Ternyata dalam tas itu berisi seekor anak anjing yang sengaja dia ambil dari kolong rumah warga Watu Lajar-Todo ketika proses angkut dua loh batu itu. Seketika itu pula terjadilah siang. Batu itu pun tidak bisa diangkut lagi. Batu tetap berdiri angkuh di sudut kampung. Kemudian batu ini popular disebut Watu Susu Rongga. (Kanis Lina Bana/FMC/bersambung)