Christina Natalia Carvallo, “Kami Menerapkan Aturan tanpa Pandang Bulu”
BORONG, FLORESMERDEKA.COM– Christina Natalia Carvallo, S.kep,Ns, salah seorang petugas medis di Puskesmas Borong, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, NTT menyatakan aturan yang diterapkan di puskesmas itu berlaku bagi seluruh pasien tanpa pandang bulu. Hal itu sesuai SOP yang ditetapkan di unit pelayanan medis itu.
Demikian salah satu poin klarifikasi Christina Natalia Carvalo, S.Kep, NS yang dikirim ke Redaksi Floresmerdeka.com, Selasa (1/12/2020).Klarifikasi setebal 16 halaman dikirim ke Floresmerdeka.com lantaran Infokom Matim tidak memenuhi janjinya untuk mengkarifikasi berita yang dilansir Floresmerdeka.com.
Berita tersebut tidak diklarifikasi pihaknya. Sebab Kabid SDK Dinkes Manggarai Timur memintanya untuk tidak mengeluarkan statement apa pun kepada awak media. Pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai Timur berjanji mengklarifikasi melalui media yang dikelola Humas dan Kominfo Kabupaten Manggarai Timur.
Namun sampai pada detik ini tidak ada klarifikasi di media PEMDA, termasuk institusi tempatnya bekerja. Oleh karena itu, Kristina menyampaikan Hak Jawab dan Klarifikasi demi meluruskan berita sekaligus memulihkan nama baiknya.
Berikut kronologis kejadiannya. Saya Christina Natalia Carvallo S.Kep,Ns. Seorang perawat yang bertugas di Unit Rawat Inap UPTD Puskesmas Borong, (6/11/2020) pukul 21.00- 08.00 WITA. Saat itu pasien Mateus Mundur (58), alamat peot, pekerjaan petani, dirawat dengan diagnosis CKR+Multiple vulnus laceratum+ multiple vulnus excoriatum yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas di bawah pengaruh alkohol.
Pukul 22.45 petugas UGD menelpon petugas rawat inap untuk menyiapkan ruangan dan tempat tidur di ruangan pria bagi pasien tersebut. Bersama Herlina Roswita, kami menyiapkan perlengkapan tidur pasien. Pasien dipindahkan ke ruang rawat inap pukul 23.00 WITA bersama petugas UGD, satpam bersama rombongan keluarga pasien berjumlah ± 10 orang.
Setelah perawat memastikan tubuh pasien benar- benar terletak dengan aman dan nyaman di tempat tidur. Teman saya Herlin menerima laporan overan pasien dari petugas UGD di ruangan Nurse Station. Sementara saya mengambil perlengkapan medis untuk mengobservasi tanda-tanda vital dan menganamnesa kondisi pasien.
Saat memulai anamnesa,cairan pasien habis. Teman saya bergegas ambil cairan NaCL untuk ganti. Saat proses anamnesa berjalan, saya merasa suasana dalam ruangan perawatan tersebut sangat sumpek, panas, karena keluarga korban banyak yang berdiri di samping tempat tidur pasien.
Dengan sangat santun saya menyampaikan permohonan kepada keluarga pasien. “Ende,tanta,om neka rabo toong eme kudut jaga bapa one ruangan hoo cukup sua ko telu ata kaut e, iwon ga gereng bepe’ang e..” yang dipertegas,Herlin. “Yang lain tunggu di luar e”. Keluarga pasien mengangguk. Tetapi tiba-tiba terdengar suara seorang pria dari arah belakang, “tunggu sebentar” dengan nada yang sangat ketus dan memerintah.
Kemudian saya dan teman saya menoleh, seorang pria bertubuh tinggi besar sedang duduk di bed pasien no 4 sambil memegang Hpnya ” Kami yang bertugas di ruangan rawat inap malam ini yang bertanggung jawab dan memiliki wewenang untuk untuk mengatur segala sesuatu yang menyangkut kenyamanan dan keamanan pasien” tambah saya.
Tiba-tiba pria itu langsung berteriak dari arah belakang “Hei… kau tidak dengar apa yang saya omong kah. Saya sudah bilang tunggu sebentar baru mereka keluar. Mereka baru datang lihat pasien ini!”. Menimpali itu, saya menjawab dengan nada yang datar saja. “Om, saya tadi kan menjelaskan to’ong, atau sebentar. Bukan saya menyuruh keluarga harus segera keluar sekarang”.
Terhadap penjelasan itu pria tersebut menunjuk ke arah saya sambil berkata, “he… jaga kau punya kata-kata!” Saya pun menimpalinya.“ Memangnya ada yang salah dengan kata-kata saya om?” Saya jelaskan baik-baik. Apa saya mengusir mereka? Lalu dia menjawab “ memang kau tidak usir tapi saya sudah bilang sebentar baru mereka boleh keluar! Masih dengan suara yang melengking, membentak dan sambil tangan tunjuk ke arah saya. Saya pun menjawab “om, yang berhak mengatur jumlah pengunjung dan penjaga yang berada dalam ruangan pasien selain satpam ya kami perawat yang bertugas saat ini agar pasien bisa istirahat dengan tenang dan nyaman”.
Terhadap penjelasan saya, pria itu langsung mengatakan “hei anjing,,,,,,kau tidak tahu siapa saya? Sambil tunjuk ke arah saya.” Saya pun menjawab dengan santai “ maaf om kami memberikan pelayanan dan menerapkan aturan kepada seluruh pasien dan keluarganya tanpa pandang bulu. Semua pasien dan keluarga kami perlakukan sama”.
Saat itu seorang bapak dari keluarga pasien menyampaikan maaf seraya menyuruh keluarga keluar. Yang tersisa ±4 orang, termasuk pria tinggi besar yang sebelumnya membentak, mengancam dan memaki saya. Pria itu berjalan ke luar ruangan rawat inap. Saya dan teman saya tetap melanjutkan proses anamnesa dan mengukur TTV pasien.
Tidak dipungkiri hati saya sangat sakit mendengar kata-kata makian dari saudara Salesius Medi. Rasanya ingin menangis tapi sekuat hati saya berusaha menahan air mata dan emosi. Saya pun mengatakan saat itu “Saya tahu Anda seorang DPR tapi Anda tidak bisa semena mena seperti itu terhadap kami di tempat kami bekerja”
Ketika saya sedang mengetik laporan,Salesius Medi datang dan menanyakan, “ nama Anda Christina Natalia Carvalo?. Saya menjawab “iya om, ada apa?” Dia langsung mengangguk-angguk sambil melihat ke arah Hp-nya dan berjalan kembali keluar. Saya mendengar dia menelpon seseorang dan menyebut-nyebut nama saya. Kemudian terdengar dia memaki-maki saya di luar bahkan dia menuju ruang UGD. Di depan semua petugas UGD,pasien serta keluarga pasien di UGD, dia mengatakan.“Saya perawat anjing, perawat biadab, perawat pukimai, perawat acu, dan sebagainya”
Dia juga mengatakan kepada teman-teman saya yang bertugas di UGD bahwa saya mengatai dia baru jadi Dewan sudah sombong. Padahal saya tidak mengeluarkan kalimat seperti itu.
Kemudian dia masuk lagi ke ruangan rawat inap dan memandang saya sambil mengatakan “Christin Carvalo tunggu kau” lalu dia berjalan lagi keluar. Saya tidak menghiraukan omongannya. Saya tetap pergi kontrol semua pasien terutama dua orang pasien anak yang sedang sesak dan terpasang oksigen. Saat kembali ke ruangan seorang pria bernama Marsi Supardi datang menanyakan siapa perawat yang bernama Christin Carvalo. Lalu saya mengatakan saya kakak, ada apa ya?
Dia mengatakan ibu Ani Agas ingin berbicara dengan saya by phone. Ternyata Sales Medi menelpon Ibu Ani datang ke Puskesmas saat itu. Tapi beliau tidak bisa datang dan akhirnya berbicara dengan saya melalui telepon. Di telepon, kepada saya, ibu Ani menanyakan beberapa hal antara lain kronologis kejadian dengan Sales Medi. Saya menjelaskan semuanya. Kepada saya beliau berpesan tetap fokus melayani pasien seperti biasa. Tidak perlu menunjukan muka yang cemberut, tidak usah menanggapi omongan dan sikap Sales Medi dan meminta kakak Marsi untuk menjaga kami di ruangan saat itu.
Saat saya sedang berbicara dengan ibu Ani per telepon, Sales Medi menguping pembicaraan kami dari luar ruangan dan berteriak “ biar kau lapor semua di dia. Saya akan tuntut kau”. Tapi saya tidak menggubrisnya. Kemudian lanjut ke ruangan Bapak Mateus Mundur untuk melihatnya.
Kami mendengar omelan-omelan Sales Medi di luar tapi kami tidak menghiraukannya. Kemudian dia kembali berjalan mondar mandir di depan nurse station sambil mengatakan akan memanggil seluruh wartawan untuk meliput kami dan mengatakan akan membawa masalah ini ke sidang paripurna.
Kemudian dia keluar ruangan lagi dan dia menanyakan pada Bapak Elias selaku satpam di Puskesmas Borong yang bertugas saat itu “ perawat itu statusnya sukarela,THL atau PNS”. Satpam menjawab “dia PNS pak” Sales Medi pun diam.
Beberapa saat suasana di unit rawat inap hening. Sekitar pukul 00.45 Wita ibu Ani menelpon kembali dan bertanya apakah pasien minta pulang. Saya jawab tidak tahu. Sebab tidak ada keluarga yang datang memberitahukan hal tersebut. Ibu Ani menjelaskan bahwa mereka ingin memindahkan pasiennya ke susteran. Kepada Ibu Ani saya katakan,” ibu saya pergi pastikan dulu, apakah benar mereka ingin pulang. Jika benar maka wali sah pasien harus tanda tangan surat pernyataan pulang paksa”
Saat keluar dari nurse station, Sales Medi berjalan cepat menuju ruangan pak Mateus sambil teriak “kami bawa pasien keluar dari sini”. Bersama teman perawat saya pergi ke ruangan bapak Mateus. Setiba di ruangan itu tampak seorang wanita bertubuh pendek,memakai baju merah sedang mengomel sambil menggulung tikar dan mengatakan mereka ingin keluar saja dari puskesmas. Lalu saya menanyakan pada pasiennya “ bapa tuung ngoeng keluar tite ce mai Puskesmas a?” Pasien itu tunduk saja tanpa mengeluarkan satu katapun.
Wanita berbaju merah itu pun menimpali saya.“Ee ite omong langsung saja dengan itu om yang di luar. Om yang dimaksudkannya adalah sales Medi. Lalu saya menjawab” maaf tanta saya hanya ingin berbicara dengan wali sah pasien ini. Istri atau anak kandungnya, jika memang keluarga memaksa untuk segera pulang malam ini. Jika demikian, maka wali sah pasien harus tanda tangan surat pernyataan pulang paksa. Artinya apap un yang terjadi pada pasien setelah keluar dari puskesmas bukan menjadi tanggung jawab kami petugas medis”.
Semua keluarga yang ada dalam ruangan itu diam dan hening. Lalu saya bertanya lagi pada istri pasien,”asa mama ngoeng kin kole a agu kondisi de bapa ne nggoo toe di di’a, ngoeng rawat le susteran Peot a? Istri pasien ini menatap saya dengan mata berkaca-kaca dan wajah tampak bingung dan murung. Lalu dia menjawab “ ibu toe gori hia (bpk. Mateus) rawat le susteran, ngoeng kole mbaru kat”.
Saya pun tidak ingin bertanya lagi. Saya minta istri pasien ke ruangan perawat. Sementara teman saya Herlin mengambil surat pernyataan. Saat menuju ke ruang rawat inap teman saya ditegur Sales Medi agar tidak perlu tanda tangan surat itu. Saya menjelaskan cara mengisi surat pulang paksa itu kepada istri pasien. Namun karena beliau gugup menulis, saya membantu mengisi identitasnya dan suaminya kemudian dia tanda tangan surat itu.
Setelah menandatangani surat itu, beliau meminta maaf pada kami atas kejadian ini. Kami mengatakan tidak apa-apa. Yang penting rawat bapa di rumah dengan baik agar cepat pulih. Lalu saya memberikan obat-obat yang diresep dokter untuk diminum dan memberikan kertas resep untuk obat yang tidak ada di puskesmas agar bisa beli di apotek luar.
Seorang pria memakai topi datang ke ruangan perawat. Dia merupakan salah satu dari keluarga pasien. Menanyakan separah apa kondisi pasien ini dan apa saja dampak yang bisa terjadi jika pasien tidak mendapatkan perawatan yang baik. Saya menjelaskan kondisi saat ini pasien dan kemungkinan- kemungkinan yang akan terjadi akibat cedera yang dialaminya berikut luka-luka jahitan yang harus dijaga kebersihannya. Pria itu pun mengangguk-angguk dan memohon maaf berkali-kali atas ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh saudara Sales Medi.
Kami hanya tersenyum dan mengatakan tidak apa-apa sudah menjadi resiko pekerjaan kami. Akhirnya teman saya Herlin menyiapkan peralatan untuk melepas infus pasien, namun wanita berbaju merah itu tidak ingin infus pasien dilepas sehingga mereka bisa membawa pasien dengan infusnya ke klinik Susteran.
Teman saya menjelaskan, jika pasien atau keluarganya memaksa keluar dari puskesmas dan tidak ingin dirawat lagi maka apa pun peralatan medis pada tubuh pasien harus dilepas. Wanita itu pun terdiam. Lalu teman saya membuka plester infus pasien,melepaskan abocathnya, lalu menutup bekas tusukan dengan kapas dan plester.
Saat teman saya sedang melepas infus pasien, sales Medi menyuruh seorang wartawan mengambil foto teman saya. Sedangkan Sales Medi berdiri di depan Nurse Station dan mengarahkan kameranya ke wajah saya lalu mengambil gambar. Seraya mengatakan, ‘Christin Carvalo saya akan muat kau di surat kabar”. Tapi saya tidak menghiraukannya karena sibuk menulis status pasien sebelum pasien pulang.
Sebelumnya diberitakan (Floresemerdeka.com (7/11/2020), kecewa dengan pelayanan petugas kesehatan di Puskesmas Borong, Kabupaten Manggarai Timur (Matim), Flores, NTT, terpaksa keluarga pindahkan Matius Mundur, pasien yang sedang dirawat di puskesmas itu. Mundur korban kecelakaan lalulintas (Lakalantas) di Peot, Kelurahan Satar Peot, Kecamatan Borong dipindahkan ke Klinik Santa Klara Peot, Jumat (6/11/2020) malam sekitar pukul 00.50 Wita.
Sebelumnya korban dirawat di Puskesmas Borong, Jumat (6/11/2020) sekitar pukul 13.00 Wita. Mundur diantar, Salesius Medi, Frans Borgias, Viktor Lele, Beni Dudur dan sejumlah anggota keluarga lainnya ke Puskesmas Borong. Matius Mundur langsung diarahkan ke ruang UGD puskesmas itu guna mendapat perawatan.
Setelah mendapat perawatan, petugas medis putuskan korban harus rawat inap guna ditangani lebih lanjut. Sekitar pukul 00.30 Wita, petugas UGD dan beberapa keluarga mendekati korban untuk dihantar ke ruang rawat inap. Setibanya keluarga di ruangan rawat inap petugas medis, Kristin Carvalo, menegur keluarga korban. “Di dalam ruangan ini cukup tiga orang saja yang jaga korban. Yang lain keluar,” tegas Kristin sebagaimana dikutip Salesius Medi.
Terhadap teguran itu keluarga korban tidak merespon. Sebab keluarga korban sedang berada di dalam ruangan rawat inap tengah memindahkan korban ke tempat tidur. Lantaran terpanggil agar tidak menimbulkan hal yang kurang menyenangkan, Salesius Medi, menyampaikan jika keluarga segera tinggalkan ruang rawat inap apabila korban sudah dipastikan aman di tempat tidur perawatan.
“Saya katakan, ibu.. keluarga akan tinggalkan ruang rawat. Keluarga hanya ingin korban lebih cepat masuk ruang rawat dan pastikan sudah di tempat tidur,” ujar Medi.
Namun terhadap penyampaian Salesius Medi itu, Kristin menimpal balik seraya menegaskan, “Apa?. Kalian tidak punya hak untuk atur kami. Kami yang punya tempat di sini. Kami tidak mau dengar siapa-siapa, dan tidak pernah pandang bulu,” ujar Kristin sebagaimana dikutip Sales Medi.
Karena mendapat jawaban yang kurang etis itu , Sales Medi mengingatkan Kristian. “ Ibu tolong jaga tutur kata. Berikan pelayanan yang baik,” pintanya.
Usai menjelaskan hal itu, Salesius Medi, tinggalkan ruang rawat korban menunggu di luar ruangan. Sementara Kristin Carvalo masih ngomel. Seturut pengakuan keluarga, Kristin Carvalo masih saja mengomel. Bahkan di hadapan keluarga korban, Kristin Calvaro mengucapkan kalimat yang tidak elok didengar.
Perkataan itu secara inplisit ditujukan kepada Sales Medi. “Baru jadi Dewan sombong,” ujar Viktor Lele dan Gregorius Gepong mengutip pernyataan Kristin.
Mendengarkan hal itu keluarga Salesius Medi tersinggung berat. Sebab kehadirannya di Puskesmas Borong semata-mata menolong keluarga yang menderita sakit akibat lakalantas. Lantaran tidak puas dengan dengan celotehan Kristin Carvalo, pihak keluarga menyampaikan hal itu kepada Salesius Medi.
Kepada wartawan yang ditemui di kediamannya, Salesius Medi menyatakan kekecewaaannya. Sebab pernyataan Kristin Carvalo mencidrai diri dan martabatnya. “Saya sangat tersinggung, tetapi saya harus menahan diri. Apalagi anggota keluarga saya masih dalam keadaan duka. Malam itu juga saya dan keluarga putuskan untuk pindahkan pasien ke Klinik St. Klara, Kelurhan Satar Peot” ujarnya.
Menurutnya, sikap yang ditunjukan Kristin Carvalo sangat buruk. Ia meminta Dinas Kesehatan mengevaluasi seluruh kinerja petugas kesehatan. “Saya minta Kepala Dinas Kesehatan Manggarai Timur, turun tangan dan evaluasi Kepala Puskesmas Borong dan petugas medis di puskesmas itu,” tegasnya.
Dikatakan, petugas medis semestinya memberikan pelayanan yang terbaik kepada para pasien dan keluarga. “Mungkin bukan hanya keluarga kami yang mengalami seperti ini. Ada juga pasien atau keluarga lain yang mengalami hal yang sama. Tetapi tidak berani menyuarakan,” urainya, seraya menambahkan.
“Saya harap petugas medis di puskesmas itu bekerja sesuai standar etika medis. Saya minta Kristin Carvalo harus pindah. Beri dia waktu berbenah diri. Sebab tutur kata tanpa kontrol dan etika itu, melukai perasaan orang lain. Apalagi dia menyebut lembaga Dewan. Padahal teguran saya tidak dalam kapasitas anggota Dewan. Saya sebagai keluarga korban. Sangat disesalkan kalau menyinggung lembaga Dewan. Teguran saya bukan karena saya anggota Dewan, tetapi sebagai keluarga korban yang merasa diperlakukan tidak manusiawi,” katanya.
Medi menegaskan perkataan Kristian Carvalo sangat melukai hati dan keluarganya. Apalagi sebagai lembaga Dewan. “Saya tentu ada catatan khusus bagi Dinas Kesehatan,” tegasnya.
Menurutnya, terkait perkataan baru jadi anggota dewan sombong, pihaknya akan mengambil sikap tegas. “ Bagi saya jika pimpinan puskesmas tidak ambil sikap terhadap Kristin Carvalo, tentunya saya ada ruang yang bisa digunakan. Waktu masih panjang, kita lihat nanti,” tegasnya.
Gagal Ditemui
Dalam upaya pencarian kebenaran data, beberapa wartawan Sabtu (07/11/2020) siang mendatangi Puskesmas Borong. Saat itu para petugas mengaku, Kristin Calvaro sudah kembali ke kediamannya di Jawang, Desa Golo Kantar, Kecamatan Borong. Sebab Kristin ditugaskan untuk piket malam di puskesmas itu. ketika diminta nomor kontak, para petugas di puskesmas itu mengaku jika mereka tidak memiliki nomor handphone Kristin Carlvalo.
Mendengar jawaban para petugas, beberapa awak media memutuskan untuk mendatangi rumah Kristin Carlvalo. Saat tiba dirumah itu, wartawan bertemu ayahnya, Mikael Carvalo. Kepada wartawan Mikhael Carvalo mengaku putrinya sedang istirahat. “Dia sedang tidur,” ujar Mikael.
Mendengar penjelasan itu, awak media hendak pulang. Namun bersamaan itu seorang pemuda mendekati wartawan seraya bertanya tentang kehadiran wartawan.
Menanggapi pertanyaan itu, Sandy Hayon dari media floresmerdeka.com menjelaskan jika kedatangan para awak media bertujuan meminta mengklarifikasi terkait keluhan keluarga pasien yang sempat dirawat di Puskesmas Borong. Sebab Kristin Carvalo selaku petugas piket malam di ruangan rawat nginap di Puskesmas Borong.
Dalam komunikasi siang itu,terkesan sang pemuda itu menghalangi wartawan untuk bertemu Ibu Kristin. Hal itu dibuktikan dengan pernyataannya yang meminta wartawan untuk perlihatkan KTP dan kartu pers. Permintaan tersebut ditolak wartawan, lantaran pemuda itu tidak berkapasitas menjelaskan hal yang dikonfirmasi wartawan.
“Waktu saya bilang kaka kami datang untuk bertemu Ibu Kristin untuk meminta klarifikasi terkait keluhan anggota keluarga pasien. Dengan tujuan agar beritanya berimbang. Tetapi dia tetap ngotot. Makanya kami memutuskan untuk pulang. Apalagi dari pengakuan ayah Kristin, putrinya sedang tidur,” ujar Hayon. (FMC)