Bagang-Bagang Itu Kini Tinggal Kenangan - FloresMerdeka

Home / Bumi Manusia / Feature

Minggu, 6 September 2020 - 01:12 WIB

Bagang-Bagang Itu Kini Tinggal Kenangan

Sejumlah bagang nelayan di Pulau Komodo.(Foto: Flores Merdeka)

Sejumlah bagang nelayan di Pulau Komodo.(Foto: Flores Merdeka)

LABUAN BAJO, FLORESMERDEKA.COM– Sepuluh hingga lima belas tahun lalu, jika Anda berkunjung ke Kota Labuan Bajo, Ibu Kota Kabupaten Manggarai Barat, Anda masih menyaksikan perahu-perahu nelayan tradisional atau oleh warga setempat menyebutnya bagang, berjejer-jejer di sepanjang pesisir pantai Labuan Bajo dan sekitarnya.

Ketika senja tiba, perahu-perahu nelayan yang dihiasi lampu berwarna warni tampak berkelap kelip menambah syandu suasana pantai. Namun, panorama indah tersebut kini tak dinikmati lagi oleh warga atau para pengunjung yang datang ke kota ini. Bagang-bagang milik para nelayan itu hilang, entah di mana.

Dulu, perahu-perahu nelayan yang digunakan untuk mencari hasil laut itu saban hari berseliweran di perairan laut Labuan Bajo dan sekitarnya. Kini ‘tergusur’ digantikan oleh kapal-kapal mengangkut waisatawan lokal atau pun wisatawan mancanegara.

Kota yang dulu tenang dan damai, perlahan-lahan berubah menjadi kota yang ramai dan bising oleh derap industri dunia pariwisata. Ke manakah perahu-perahu para nelayan tradisional itu? Masihkan para nelayan Labuan Bajo menjalani aktivitas keseharian mereka sebagai nelayan dan pelaut?

“Saya dan banyak teman lain sudah tidak lagi mencari ikan. Perahu-perahu sudah kami ubah untuk mengangkut turis. Usaha ini lebih untung daripada untuk mencari ikan,” ujar Jainudin seorang pemilik bagang yang kini beralih profesi menjadi ‘juragan’ turis alias kapten kapal pengangkut wisatawan.

Beralih profesi dari nelayan menjadi ‘juragan turis’ bukan tanpa alasan. Dalam hitungan untung dan rugi, pilihan untuk tetap menjadi nelayan di tengah pesatnya industri pariwisata bukan pilihan yang gampang. Maklum, sejak pariwisata booming, kawasan perairan Labuan Bajo “dikuasai” oleh kapal-kapal pesiar.

Bagi Jainudin, pekerjaan sebagai nelayan di kota pariwisata ini tidak banyak membantu dalam meningkatkan kesejahtraan ekonomi keluarganya. Pesatnya pariwisata telah mengubah Labuan Bajo sebagai kota wisata internasional. Hal ini ikut mengubah pula pola piker dan cara hidup banyak orang terutama para nelayan tradisional.

Kalau dahulu, Labuan Bajo menjadi kota nelayan maka kini berubah menjadi kota wisata. Profesi sebagai nelayan rasanya sulit dipertahankan. Apalagi sebagian kawasan lautan dan pesisir Kota Labuan Bajo dan sekitarnya telah hilang akibat dikapling-kapling para pengusaha untuk membangun hotel, restaurant atau bisnis jasa lainnya.

Para pebisnis itu pun tidak peduli bahwa wilayah pesisir atau laut adalah ruang publik yang tidak boleh dikapling menjadi miliki pribadi. Ia pun mengaku tidak peduli dengan segala tetek bengek yang berhubungan dengan hal itu. Ia hanya berpikir bagaimana ia mencari nafkah agar asap dapur tetap mengepul. Jainudin hanyalah satu diantara ribuan nelayan Labuan bajo yang kini beralih profesi dari nelayan menjadi jurangan turis, pedagang asongan atau pedagang sayur mayur di pasar-pasar tradisional.

Sebaliknya, bagi para nelayan yang ingin terus bertahan dengan profesinya, mau tidak mau mereka harus menyingkir atau tersingkir ke tempat jauh. Ia harus merantau atau keluar kota agar bisa mencari ikan dengan nyaman. Seperti dialami oleh Sulaiman, seorang nelayan asal Kampung Tengah, Labuan Bajo. Ia terpaksa tinggal di Pulau Papagarang dalam bilangan Taman Nasional Komodo agar tetap bisa melaut.

“Sejak pariwisata booming, kawasan perairan Labuan Bajo “dikuasai” oleh kapal-kapal pesiar”

Narasi kedua nelayan hanyalah sekelumit kisah yang direkam floresmerdeka.com ketika keduanya ditemui secara terpisah awal bulan ini. Kini bagang-bagang para nelayan tradisional itu tak lagi menghiasi pesisir Kota Labuan Bajo. Bagang-banggang itu kini tinggal kenangan.

Yang tampak hanya kapal-kapal pengangkut wisatawan yang saban hari berseliwerang di tengah makin keruhnya laut akibat kapal-kapal mewah itu membuang ‘hajat’ sembarangan tanpa peduli akan keindahan dan kelestarian lingkungan. (Kornelius Rahalaka)

Share :

Baca Juga

Bumi Manusia

Kisah 20 Menit Gubernur Viktor Laiskodat di Rumah Sales Medi

Bumi Manusia

Goa Istana Ular, Sensasi Memacu Adrenalin

Feature

Buaya di Waelengga : Dulu Penyelamat, Kini Pemangsa

Feature

Taman Rendo-Ende, Duhai Nasibmu

Bumi Manusia

Meneropong Internet di Kalangan Milenial

Feature

Jeritan Hati Warga Pingggiran Wae Kelambu

Bumi Manusia

Hijaukan Indonesia dari Rumah, Orang Bilang Ini Gila

Feature

Wartawan di Manggarai Timur Gunting Kuku Penderita Gangguan Jiwa