Menyingkap Fakta Sejarah Batas Wilayah Manggarai-Ngada ( Bagian VII) | FloresMerdeka

Home / Telusur

Senin, 8 Februari 2021 - 14:29 WIB

Menyingkap Fakta Sejarah Batas Wilayah Manggarai-Ngada ( Bagian VII)

Frans P Leok, sesepuh Manggarai sedang memberikan pandangannya terkait pergeseran garis batas wilayah Manggarai-Ngada. Foto/ist

Frans P Leok, sesepuh Manggarai sedang memberikan pandangannya terkait pergeseran garis batas wilayah Manggarai-Ngada. Foto/ist

Catatan Redaksi

Hosting Unlimited Indonesia

Pro-kontra garis batas wilayah Manggarai (Timur)–Ngada  makin tajam sejak Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat keluarkan Berita Acara No. No. BU.314/44/BPP/2019, tanggal 14 Mei 2019. Elemen masyarakat Manggarai bersikukuh menolak berita acara tersebut. Bahkan DPRD Manggarai Timur melalui Keputusan No. No. 16/DPRD/Tahun 2019, tanggal 26 Agustus 2019 menolak keras usulan baru batas wilayah itu. Alasannya  batas wilayah sudah ditetapkan Gubernur NTT melalui  SK No. 22 Tahun 1973.

Namun semua itu sia-sia belaka menyusul Permendagri No 55 Tahun 2020 tentang usulan baru titik-titik batas wilayah Manggarai Timur-Ngada. Seperti apa jejak-jejak sejarah  masa lalu yang ditinggalkan para pelaku dan pencipta sejarah batas wilayah Manggarai- Ngada? Floresmerdeka.com meramunya dari fakta historis, yurudis dan politik  napak tilas batas wilayah Manggarai-Ngada.   Tulisan ini  berupa sebentuk  dian pencerahan berbasis  dokumen sah. Ramuan tulisan berdasarkan basis dokumen sejarah membantu kita memahami mengapa elemen Manggarai Raya menolak batas baru wilayah itu. Berikut ini diturunkan secara serial.

Iklan Kementerian Agama

Aksi Berlanjut, Warga Was-Was (7)

AKSI warga perbatasan asal Ngada terus berlanjut. Rehat sejenak. Lalu meledak lagi. Terus meledak. Semakin meluas dengan beragam aktivitasnya. Aksi itu mengusik berbagai pihak. Pendek kata manuver warga perbatasan asal Ngada di wilayah perbatasan Manggarai Timur seperti arisan. Bakit dan Buntal. Bila di Bakit beranjak redup, Buntal pasti “meletus”.

Sebaliknya bila Buntal menjurus tenang. Bakit bangkit dan meledak-ledak. Begitulah seterusnya. Dan memang dua lokasi tersebut jadi target utama agar pilar batas geser ke titik yang diinginkan. Berbagai upaya mencapai tujuan itu tidak pernah lekang. Selalu muncul dan muncul lagi.

Menyeruaknya kasus di Bakit mendorong anggota DPRD Propinsi NTT  turun lokasi. Memantau kondisi riilnya. Maka tanggal 1 Mei 2010 Komisi A DPRD Propinsi  NTT meninjau wilayah perbatasan di Wae Boong. Namun langkah mereka terhenti di Bakit  karena lintasan jalan sudah blokir. Kondisi jembatan Bakit sudah terancam ambruk akibat kikisan banjir. Para wakil rakyat itu harus balik pulang sambil menenteng heran. Sejuta pertanyaan melingkup isi kepala. Mereka putar otak agar jalan yang diblokir itu segera diretas sehingga transportasi kembali normal. Namun kondisi jembatan berikut lintasan  jalan yang diblokir itu butuh biaya besar. Belum lagi reaksi warga yang sering buat ulah. Niat diurungkan.

Tanggal 13 Mei 2010  kasus blokir jalan terjadi lagi di Buntal. Arus transportasi lumpuh total selama beberapa hari. Sepekan kemudian transportasi kembali normal setelah pihak pemerintah desa dan kecamatan di perbatasan mengendalikan situasi. Pagar dibongkar, seraya memberi pemahaman agar aksi serupa tidak  lagi berulang.

Sebagaimana laiknya jika Buntal sudah mulai pulih, Bakit pasti bergejolak.  Tanggal  26 Okteber  2010,  warga Minsi dan  Leson kembali mengamuk. Aksi makin nekat dan brutal. Pilar sudah mereka hancurkan. Jalan dan jembatan sudah blokir. Aksi berikutnya tanam pilar batas pada sisi kiri dan kanan  jembatan Wae Bakit. Pilar batas itu  berukuran 30 Cm X 30 Cm dengan ketinggian di atas tanah  1 M. Pada sisi pilar tertulis  tugu batas  wilayah Desa  Benteng Tawa. Sisi lainnya  tertulis Riung.

Tidak sebatas itu. Aksi masih berlanjut. Sisi jembatan Bakit yang sebelumnya  sudah mereka gali sedalam 1 M,  digali kembali  mencapai kedalaman 3 M. Lalu dipasang pagar pembatas sepanjang tujuh meter menggunakan bambu dan kayu lokal. Arus transportasi lumpuh total. Jalur alternatif yang sebelumnya  bisa dimanfaatkan, tidak bisa digunakan sama sekali. Kondisi lingkungan sekitar mencekam. Perekonomian macet. Warga terisolasi dan  hidup dalam kondisi terancam dan penuh curiga.

Situasi di Bakit pernah penulis alami. Saat masih menjadi reporter SKH Pos Kupang, Kelompok Kompas Gramedia. Saya mendatangi lokasi konflik untuk tugas liputan.  Kedatangan pertama beberapa hari setelah kejadian. Itu pun bersama tim terpadu dari Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Timur. Laporan yang saya kirim ke redaksi terbatas. Hanya rekaman peristiwanya. Wawancara warga perbatasan terpotong karena keburu pulang. Hari sudah menjelang malam rombongan tinggalkan  Bakit. Saya penasaran. Naluri jurnalistik mengutak-utik akal dan pikiran. “Saya harus datang lagi di tempat ini,” guman saya dalam hati.

Dua minggu  kemudian, atas izin  Redaktur Pelaksana  SKH Pos Kupang, Hyeron Modo, saya kembali  mendatangi  lokasi kejadian. Saya berhenti di Bakit. Sebab beberapa warga setempat mengingatkan saya, situasi perbatasan  masih mencekam. Belum aman untuk orang-orang wajah baru datang ke lokasi itu. Padahal, saya  berniat  nginap agar liputan mendalam bisa saya garap. Angle tulisan yang mau saya dapatkan adalah  sisi lain carut-marut persoalan, geliat ekonomi warga dan denyut nadi harapan warga perbatasan.

Tetapi rencana tersebut terpaksa diurungkan, sebab kondisi kurang  memungkin-kan. Warga enggan cerita jujur. Takut dan cemas. Takut bila nama mereka dicantumkan di media massa. Khawatir jadi sasaran. Khawatir juga laporan wartawan dapat memper-keruh persoalan. Di sisi lain saya merasakan energi negatif. Kehadiran saya dicurigai. Gerak-gerik diintai dengan tatapan nanar. Maka pukul 23.30 Wita saya putuskan tinggalkan Bakit sambil menenteng kecewa. Jantung kembang-kempis. Nyali ciut. Mata tole kiri kanan.

 Antara tuntutan tugas liputan dan keselamatan nyawa berebut tempat. Saya putuskan segera keluar dari Bakit-daerah isolasi lokus kejadian. Saat meninggalkan  Bakit, sepeda motor  saya dorong kurang lebih ½ KM. Sambil bungkuk mengendap di atas sadel motor, tanpa nyalakan lampu, selanjutnya saya hidupkan mesin. Sejurus kemudian saya kencangkan laju kuda besi buatan Jepang itu. Perjalanan meliuk-liuk diantara lumpur dan bebatuan, karena  kondisi jalan memrihatinkan.

Perjalanan dari Bakit hingga Elar, pusat Ibukota Kecamatan Elar menelan waktu hampir dua jam. Ruas jalan sudah menyerupai anak sungai. Batu-batu berserakan. Genangan air di badan jalan. Jalan licin berlumpur. Melintasi jalan itu butuh nyali. Pertarungan antara napas dan darah. Hidup dan mati beda-beda tipis. Namun lantaran disesaki  rasa takut, cemas, was-was, dengan sisa tenaga yang ada saya  kencangkan laju kendaraan.

Setibanya di Elar saya berniat istirahat. Saya tawarkan diri  ke rumah pastoran Paroki Elar. Mesin generator masih hidup. Listrik masih nyala. Kesimpulan saya penghuni pastoran belum tidur. Saya merapat ke pastoran. Dua orang pembantu pastor menerima kadatangan saya. Saya tidak dizinkan untuk sekadar merelaksasi tubuh. Sebab pastor paroki tidak ada di tempat. Sedang patroli ke stasi-stasi. 

Terpaksa saya lajukan sepeda motor ke arah barat  hingga Kampung Mombok. Lantaran haus dan kedinginan saya tawarkan nama kepada seorang bapak di kampung itu. Kebetulan sedang jaga kios. Pintu kios belum tutup rapat. Masih menyisahkan terbuka beberapa senti agar bisa pantau kedatangan warga yang hendak membeli barang dengan- nya. Ia sedang menjahit karung berisi kemiri dan coklat. Saya beli aqua. Dialog terjadi. Tapi saya tidak serta merta diterima. Saya “diinterogasi” karena warga masih trauma atas tragedi kemanusian yang menimpah salah satu keluarga warga Elar  sebelum kedatangan saya.

“Ah…saya kira intel tadi. Makanya saya tanya-tanya. Maaf ya.. Mari kita ke rumah. Rumah saya beberapa meter dari sini. Agak ke dalam dari badan  jalan utama,” ajak bapa itu usai tutup kiosnya.

Kembali ke wilayah perbatasan. Situasi perbatasan di Bakit dan Buntal yang kian runyam mendorong Bupati Manggarai Timur, berkoordinasi dengan Bupati Manggarai, Drs. Christian Rotok, Bupati Manggarai Barat, Drs.Agustinus Ch Dulla. Ketiga bupati bersama anggota DPRD, tokoh masyarakat, tokoh adat diskusi intensif menyikapi persoalan  tapal batas wilayah.Tiga bupati, anggota Dewan dan tokoh masyarakat harus duduk bersama mengingat masalah perbatasan bukan semata-mata tanggung jawab Bupati Manggarai Timur, Drs. Yoseph Tote,M.Si, yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Ngada.

Seturut filsopi budaya Manggarai, Kabupaten Manggarai boleh dibagi menjadi tiga wilayah administrasi demi mengefektifkan pelayanan kepada masyarakat. Tetapi dalam entitas budaya, Manggarai tetap satu kesatuan yang utuh, tak terpisahkan. Oleh karena itu persoalan batas wilayah menjadi tanggung jawab bersama tiga bupati Manggarai.

Persamaan konsep kesatuan entitas budaya Manggarai telah dimaktubkan dalam  prosesi adat  “cahir gendang”. Dalam seluruh rangkaian adat dan ujud-ujud intensi kepada leluhur dinyatakan dengan tegas, lugas dan jujur bahwa Manggarai Timur, Manggarai dan Manggarai Barat  selalu bernaung dalam satu semangat, “ Kope Oles Todo  Kongkol, Nai Ca Anggit Tuka Ca Leleng” (Perisai anyaman rotan yang kokoh dengan pedang bermata dua, selalu seia, sekata). .Semangat ini mengikat secara turun temurun bagi masyarakat dan pemerintahan di Manggarai.

Dalam aras inilah, pertemuan bersama, 28 Mei 2011[1] menyatakan dengan tegas. Pertama, masalah batas wilayah Manggarai (sebelum pemekaran, Red), Kabupaten Manggarai Timur (setelah pemekaran) dengan Kabupaten Ngada sudah final. Secara historis sesuai peta topografi tahun 1916 dan tahun 1918. Secara yuridis formal keputusan bersama No. Khusus/1973, tanggal 20 Januari 1973 dan Keputusan Gubernur NTT No.  22 Tahun 1973. Secara politis, kesepakatan bersama, 30 Juni 2007 di Hotel Mercure Resko-Jakarta. Karena itu menolak tegas penentuan tapal batas wilayah berdasarkan aspirasi dan suara masyarakat.

Kedua, mendesak Gubernur NTT dan Menteri Dalam Negri (Mendagri)  segera membahas masalah batas daerah Kabupaten Manggarai Timur dan  Kabupaten Ngada berdasarkan amanat Pasal 5 ayat 3 Undang-Undang No. 36 Tahun 2007, tanggal 10 Agustus 2007 tentang pembentukan Kabupaten Manggarai Timur dan Peraturan Mendagri  No. 1 Tahun 2006, tanggal 12 Januari 2006 tentang pedoman penegasan batas daerah. Ketiga,menugaskan Bupati Manggarai Timur senantiasa berkomunikasi dan berkoordinasi dengan Bupati Ngada agar tidak melakukan tindakan provokasi di daerah perbatasan yang dapat  menimbulkan konflik  dan  korban jiwa.

Selain  bersama-sama menyatakan sikap  Kepada  Gubernur NTT dan Mendagri RI, secara lembaga masing-masing pimpinan pemerintahan di tiga Manggarai memberi penegasan dan dukungan kepada Bupati Manggarai Timur. Dukungan Bupati Manggarai melalui surat No. Pem. 130/203/V/2011,tanggal 30 Mei 2011. DPRD Kabupaten Manggarai, melalui surat No. 170/DPRD/45/V/2011, tanggal 28 Mei 2001. Bupati Manggarai Barat, melalui surat No. Pem. 131/166/VI/2011, tanggal 10 Juni 2011. DPRD Manggarai Barat melalui surat No. 170/DPRD/85.a/VI/2011, tanggal 27 Juni 2011 dan DPRD Manggarai Timur melalui surat No. 170/DPRD/124.a/IV/2011, tanggal 25 April 2011.    (*)


 

Share :

Baca Juga

Kawasan Menjerite/Rangko yang disengketakan

Bedah Kasus

Membongkar Mafia Tanah di Mabar (1)

Seribu Kata

Pencak Silat

Seribu Kata

Mencari Kayu Api

Telusur

Ironi Desa Wisata Liang Ndara

Seribu Kata

Krisis Air Bersih

Telusur

Paradoks Komodo Warisan Dunia (1)

Editorial

Paradoks Kawasan Strategis Pariwisata Nasional

Telusur

Menyingkap Fakta Sejarah Batas Wilayah Manggarai-Ngada (Bagian V)