Hubungan Politik yang Terputus - FloresMerdeka

Home / Demokrasi Mabar / Mimbar Demokrasi

Selasa, 1 September 2020 - 14:47 WIB

Hubungan Politik yang Terputus

Ilustrasi

Ilustrasi

Oleh Sil Joni

Publik-konstituen tak selalu ‘tunduk’ pada skenario elit partai politik (parpol) dalam memberikan dukungan politik kepada pasangan calon (paslon) yang berlaga dalam kontestasi pemilihan kepala daerah (Pilkada) Manggarai Barat (Mabar). Dinamika dalam tubuh Partai Golkar Mabar mungkin bisa menjadi contoh terbaik soal ‘kedaulatan’ publik tersebut.

Setelah kader Golkar Matius Hamsi dan Belasius Jeramun ‘gagal’ meraih dukungan politik dari beberapa parpol dalam proses kandidasi, tak butuh waktu lama bagi petinggi partai itu untuk menentukan sikap. Sejumlah media dalam jaringan memberitakan bahwa Surat Keputusan (SK) dukungan politik itu, diberikan ke paslon Edi-Weng. Itu berarti secara kelembagaan (kepartaian), Golkar Mabar dalam Pilkada edisi 9 Desember 2020 ini ‘mendukung’ paslon Edi-Weng.

Dukungan yang diberikan elit partai itu tak sinkron dengan ‘kemauan politik’ dari para pendukungnya. Diberitakan bahwa barisan pendukung Golkar Mabar dengan sangat ‘berani’ menolak untuk mendukung paslon Edi-Weng. Ada perbedaan sikap yang tajam antara elit parpol dengan massa di level grass root.

Keretakan dan keterputusan ‘relasi politik’ antara parpol dengan konstituen memang sebuah fenomen yang lumrah dalam jagat politik di semua level. Kepentingan parpol sering tidak sejalan dengan aspirasi publik. Dengan perkataan lain, parpol tidak sepenuhnya tampil sebagai instrumen pengartikulasian interes politik publik.

Derasnya dukungan elit parpol terhadap ‘paslon tertentu’, tidak bisa menjadi indikator tingginya tingkat keterpilihan (elektabilitas) dari paslon tersebut. Postur koalisi parpol yang gemuk, sama sekali bukan garansi memenangkan hati rakyat. Publik konstituen tidak terlalu ‘memperhatikan’ manuver para petinggi parpol. Mereka lebih berkonsentrasi pada pesona politik paslon itu sendiri.

Tidak mudah bagi parpol untuk ‘mengajak’ para pendukungnya bergabung dengan salah satu paslon. Publik mempunyai pertimbangan atau kalkulasi tersendiri dalam memberikan dukungan politik. Apalagi, kita tahu bahwa parpol selama ini tak pernah membangun komunikasi dan relasi politik yang intim dan intensif dengan publik konstituen.

Dengan latar ‘disharmoni’ semacam itu, maka sangat wajar jika parpol lari lain dan pendukungnya berjalan ke arah yang lain juga. Parpol kita sudah ‘kehilangan kredibilitas’ di mata publik. Suara politik mereka terkesan tidak ‘berpengaruh’ sebab hanya berfokus pada upaya mengejar ambisi dan interes politik yang bersifat parsial dan subyektif. Suara elit ‘jarang didengar dan apalagi dijadikan rujukan’ oleh para pendukungnya.

Hampir semua ídeal teoretis’ tentang peran dan fungsi parpol bagi publik ‘gagal dimanifestasikan’. Parpol sangat jarang ‘menggarap dan menggodok’ pola komunikasi politik yang dikemas secara reguler. Sisi kedekatan dan emosionalitas hampir tak terlihat sebab ada disparitas yang lebar antara parpol dan massa. Parpol hanya tampak atau hadir di tengah publik pada musim kontestasi politik.

Kehadiran yang temporal itu jelas tidak membekas dalam memori kolektif publik. Di mata publik, parpol itu tidak lebih sebagai ‘kendaraan’ pengangkut lusinan kepentingan para elit semata. Persepsi negatif semacam itu berimplikasi pada penegasian ambisi parpol dalam memperlihatkan preferensi politik dalam sebuah kontestasi politik pilkada.

Publik tidak boleh menjadi obyek permainan politik para petinggi parpol

SIL JONI

Saya kira, gerakan dan atau sikap politik penolakan yang diperlihatkan oleh sekelompok pendukung Golkar Mabar itu, merupakan ekspresi penggerusan dominasi parpol dalam ‘mengusung’ paslon. Pesan politiknya adalah bahwa publik tak mau menjadi ‘pemilih palsu’, yang sekadar memilih paslon yang disodorkan parpol. Publik mempunyai ‘alat ukur’ rasional kepada paslon mana dukungan politik itu diberikan.

Namun, penilaian yang positif ini menemukan pembenarannya jika para pendukung itu tidak ‘digiring’oleh kubu atau individu tertentu. Artinya, gerakan penolakan mereka terhadap figur yang didukung oleh elit Golkar itu, merupakan hasil dari permenungan akan kedaulatan politik yang bersifat otonom, bukan karena tekanan atau pesanan dari kelompok politik tertentu.

Kita berharap agar para elemen masyarakat lain tetap memperlihatkan sikap kritis dalam berpolitik. Publik tidak boleh menjadi obyek permainan politik para petinggi parpol. Tesis dasarnya adalah paslon yang tampil ke panggung Pilkada Mabar saat ini merupakan produk kompromi bahkan transaksi politik dari para elit parpol tersebut. Untuk itu, sikap kritisisisme dalam mendukung paslon menjadi sebuah kemestian agar demokrasi kita semakin produktif dan legitimatif.

Dengan demikian, pilkada hemat saya tidak hanya menjadi momentum penegakan kedaulatan publik, tetapi juga sebagai kesempatan ‘menghakimi’ para elit politik yang sekian sering ‘mendepak eksistensi publik’ dalam berpolitik. Suara politik yang tak konek antara petinggi Golkar dengan publik konstituen, merupakan resultante dari relasi politik yang terputus.

*Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik.

Share :

Baca Juga

Demokrasi Mabar

Bara Api Desak KPUD Mabar Gelar Debat Paslon

Demokrasi Mabar

Hari Ini, Sidang MK Dengarkan Keterangan KPUD Mabar
Polres Mabar Telisik Penyebab Kebakaran

Ham dan Lingkungan Hidup

Polres Mabar Telisik Penyebab Kebakaran

Mimbar Demokrasi

Paslon Janji Tidak Lakukan Politik Uang
Edi-Weng

Demokrasi Mabar

Edi-Weng Kantongi SK Golkar
Dua pelaku pencurian saat ditangkap Tim Jatanras Polres Mabar.(Foto: Humas Polres Mabar)

Demokrasi Mabar

Polres Mabar Bekuk Pencuri Lintas Propinsi
Piter Ruman, kuasa hukum warga Compang Longgo

Demokrasi Mabar

Warga Compang Longgo Polisikan Perusahaan Kelompok Handel Berseri

Demokrasi Mabar

Menjadi Pemimpin, Jangan jadi Pengkianat!