Menelisik Konflik Tanah di Labuan Bajo (Bagian-II) | FloresMerdeka

Home / Dinamika Daerah / Reportase / Telusur

Jumat, 16 Oktober 2020 - 11:18 WIB

Menelisik Konflik Tanah di Labuan Bajo (Bagian-II)

Peta tanah kawasan Keranga, Kelurahan Labuan Bajo yang disengketakan oleh banyak pihak. (Foto:ist)

Peta tanah kawasan Keranga, Kelurahan Labuan Bajo yang disengketakan oleh banyak pihak. (Foto:ist)

Menelisik Konflik Tanah di Labuan Bajo (Bagian-II)

Hosting Unlimited Indonesia

LABUAN BAJO, FLORESMERDEKA.COM Konflik-konflik tanah di Manggarai Barat, khususnya di wilayah Kecamatan Komodo menarik untuk ditelisik. Menarik jika mengacu pada filosofi orang Manggarai Gendang one lingko pe’ang maka beberapa wilayah di Kecamatan Komodo khususnya Kota Labuan Bajo boleh dibilang “pengecualian”.

Wilayah Labuan Bajo mempunyai kisah tersendiri di masa lalu. Kecamatan Komodo memiliki karakteristik sosio-budaya dan struktur adat yang berbeda dibandingkan dengan wilayah lain. Pola-pola kepemilikan hak atas tanah pun boleh dibilang agak berbeda dibandingkan dengan pola dan struktur adat di Manggarai umumnya. Kita dapat membuat semacam peta pembanding untuk menggambarkan perbedaan-perbedaan itu.

Iklan Kementerian Agama

Desa-Desa di Kota Labuan Bajo misalnya, punya kisah masa lalu yang khas dan unik dibandingkan dengan desa-desa di Manggarai pada umumnya. Potensi konflik tanah di wilayah yang mencakup empat desa/kelurahan di Labuan Bajo relatif tinggi.

Kerap kali terjadi letupan-letupan konflik, baik berskala kecil maupun besar. Kawasan Wae Cicu, Keranga, Batu Gosok di Kelurahan Labuan Bajo, kawasan Bukit Cinta, Ujung Bandara Udara Komodo, Wae Nahi dan Lancang, Menjerite, Rangko, Gorontalo dan Lemes-Golo Mori merupakan kawasan-kawasan yang potensi konflik tanahnya sangat besar.

Beberapa tokoh masyarakat berpendapat, konflik-konflik tanah semakin marak terjadi tidak terlepas dari perkembangan dunia pariwisata di daerah ini. Harga-harga tanah melabung tinggi disertai praktik jual beli tanah yang tak terkendali adalah akar soal konflik tanah di wilayah ini. Kondisi ini diperparah oleh aktivitas para mafia atau cukong-cukong tanah yang melakukan jual beli tanah tanpa memperhatikan tata cara adat dan aturan yang berlaku.

Fenomena tumpang tindih kepemilikan tanah merupakan gambaran nyata betapa carut marut urusan pertanahan di Manggarai Barat. Rata-rata tanah yang bermasalah adalah hasil pembagian fungsionaris adat tahun 1990-an.

Banyak tanah digugat, sertifikat digugat, pejabat-pejabat  digugat. Lucunya, ada orang yang miliki sertifikat tanah tetapi tidak tahu lokasi tanahnya sendiri. Demikian pula tanah di pulau-pulau kecil yang tersebar di perairan Labuan Bajo. Sejumlah pulau diklaim sebagai milik perseorangan.

Berdasarkan data ada 144 pulau yang di Kecamatan Komodo. Dari jumlah tersebut beberapa pulau diklaim sebagai milik pribadi seperti Pulau Kukusan. Kasus Pulau Kukusan menarik dikaji karena seorang warga mengklaim seluruh pulau sebagai hak miliknya. Demikian pula tanah-tanah di wilayah Golo Mori diklaim oleh sekelompok warga.

Situasi tambah runyam ketika banyak investor yang berinvestasi di sini manjadi korban penipuan atau korban manipulasi karena mereka sendiri tidak tahu asal usul tanah.

Fenomena yang terjadi, ada sejumlah investor  sudah membayar uang kepada calo atau pemilik tanah tetapi status tanah belum jelas kepemilikannya. Mantan Kepala BPN Labuan Bajo, Martin Ndoe dalam suatu diskusi mengakui adanya carut marut tanah di wilayah ini.

Ia mengaku pihaknya menemukan banyak sertifikat  yang ganda. Sertifikat yang sudah dibuat, tapi dikemudian hari ada orang lain yang datang dan mengklaim sebagai tanah miliknya. Ada pula praktik jual beli di atas jual beli.

Situasi ini disatu sisi memprihatinkan namun di lain sisi dapat dimaklumi karena pada masa lalu seluruh dokumen adminstrasi dikerjakan secara manual, tidak seperti sekarang  ini yakni system online. Namun, terkadang pemilik tanah juga tidak jujur. Setelah BPN keluarkan sertifikat dikemudian hari baru diketahui jika sertifikat itu keliru atau ganda.

Pada umumnya, tanah-tanah yang bermasalah adalah tanah-tanah yang dulu dibagi oleh fungsionaris adat dan tim bentukan pemerintah. Jabatan fungsionaris adat atau tua golo di beberapa daerah tidak bermasalah namun di daerah lain dipermasalahkan.

Sebut misal, Nggorang, Capi, Lancang, Sernaru, Wae Mata. Mengapa di Batu Cermin dan Kelurahan Labuan Bajo bermasalah? Untuk menelisik lebih jauh perihal konflik-konflik tanah di wilayah ini dibutuhkan penelitian mendalam dan komprehensif.

Namun sebagai contoh, berdasarkan data untuk Desa Batu Cermin, ada SK untuk 29 orang. SK yang dikeluarkan oleh pemerintah Tahun 1992. SK itu untuk relokasi bekas penggarap tanah namun tiba-tiba ada orang mengantongi sertifikat.

Demikian pula tanah-tanah di sepanjang deretan pagar bandara bagian timur hingga ujung landasan telah diserahkan kepada pemerintah namun anehnya ada oknum tertentu yang memiliki tanah-tanah itu dan bahkan mengantongi sertifikat hak milik.

Sementara itu, menurut penuturan Anton Hantam, salah seorang sesepuh Labuan Bajo, untuk tanah-tanah Pemda dulu diserahkan oleh fungsionaris  adat pada tahun 1961 seluas 4 lengkong.

BACA JUGA : https://floresmerdeka.com/menelisik-konflik-tanah-di-labuan-bajo-bagian-i/

Namun tidak diketahui secara pasti luasnya karena tidak pernah diukur melainkan hanya ditunjuk oleh fungsionaris adat. Belakangan menjadi rancu karena itu, pemerintah ambil inisiatif untuk meminta fungsionaris adat menunjuk titik-titik luar dari luas 4 lengkong itu. Namun ternyata di dalam titik-titik luar tersebut sudah banyak masyarakat yang miliki tanah di dalam lokasi tersebut.

Sedangkan menurut pengakuan mantan Kepala Desa Agustinus Albu, sedikitnya 90 sertifikat tidak miliki alas hak untuk diterbitkan sertifikat tanah.

“Semua sertifikat dinyatakan berbatasan dengan tanah adat namun tidak dijelaskan tanah adat yang mana dan adatnya siapa. Tidak jelas,” ujarnya.

Tanah Bermasalah Kategori Tanah Terlantar

Tanah-tanah bermasalah sebagian besar adalah tanah-tanah yang masuk dalam kategori tanah terlantar. Begitu masuk isu pemekaran dan pariwisata maka orang berlomba-lomba memiliki tanah atau mengambil kembali tanah-tanah itu.

Banyak tanah di Labuan Bajo tidak ditanami apa-apa atau tidak punya bukti fisik. Ketika bicara solusi maka kita harus kembali ke hukum pertanahan. Hukum pertanahan secara nasonal dan hukum adat. Ketika tanah dibagi oleh pemerintah maka prosesnya diambilalih oleh negara, sebaliknya bila proses pembagian secara adat maka diselesaikan oleh lembaga adat.

Justru yang  terjadi adalah pencatatan, pendokumentasian sama sekali tidak ada atau urang. Persoalan tumpang tindih sertifikat atau dokumen tanah karena memang tidak ada dokumen atau ada dokumen tapi sudah hilang atau sengaja dihilangkan.

Peta satelit tanah Keranga, Kelurahan Labuan Bajo yang bermasalah.(Foto:Ist)
Peta satelit tanah Keranga, Kelurahan Labuan Bajo yang bermasalah.(Foto:Ist)

Tanpa dibuat dokumentasi yang jelas, akan menyulitkan pihak berwenang dalam menyelesaikan masalah tanah. Jika pencatatan jelas berarti akan jelas pula siapa yang membagi dan siapa pemiliknya.

Persoalan tanah sudah banyak didiskusikan sejak awal pemekaran Manggarai Barat. Pada tahun 2006, masalah tanah pernah dibahas oleh banyak kalangan, baik lembaga pemerintah maupun lembaga non-pemerintah. Pasalnya, konflik tanah berdampak langsung  pun tidak langsung terhadap persoalan social, ekonomi, politik, budaya dan sebagainya. 

Salah satu point penting yang didiskusikan adalah soal tata ruang wilayah, tata ruang kota dan klaim-klaim sepihak oleh orang-orang tertentu. Persoalan tanah kian marak ketika harga tanah kian melambung. Berikut maraknya jual beli tanah yang tak terkendali berdampak langsung pun tidak langsung terhadap nilai inflasi yang juga merangkak naik.

Akibatnya, masyarakat dengan ekonomi pas-pasan harus pandai mengatur ekonomi rumah tangga. Bahkan tak jarang ada sebagian warga menjerit lantaran menurunnya daya beli sementara harga-harga barang terus tak terjangkau.

Repotnya, warga lokal sendiri cederung menjual-beli tanah secara bebas tak terkendali. Masyarakat atau pemilik tanah rela melepas hak milik mereka kepada investor atau pembeli lantaran tergiur oleh nilai dollar atau karena keterdesakan ekonomi, tanpa mempertimbangkan kehidupannya sendiri.

Fenomena ini mesti mendorong pemerintah membuat regulasi yang dapat melindungi masyarakat lokal. Tetapi nyatanya, pemerintah juga tidak bisa berbuat apa-apa. Pemerintah seolah menyerahkan kepada mekanisme pasar. Pada akhirnya, masyarakat lokal menjadi tamu di atas tanah airnya sendiri.

Pemerintah daerah yang diharapkan berinisiatif untuk melakukan moratorium penjualan tanah atau membuat  peraturan daerah untuk melindungi kekayaan sumber daya local tak kunjung dilakukan.Tengoklah fasilitas perhotelan dan fasilitas wisata lainnya yang dibangun di sepanjang wilayah pesisir pantai. Apakah pembangunan itu sudah mengikuti rambu-rambu peraturan yang ada?

Tanpa regulasi atau peraturan daerah yang mengatur investor atau orang berduit dalam membangun maka mereka bisa seenaknya membangun dan membeli tanah tanpa memperhatikan regulasi, kepentingan masyarakat lokal dan lingkungan sekitarnya. Satu hal yang miris, pemerintah kita seolah membiarkan para broker asing datang melakukan jual-beli tanah.

Pernah di sebuah website, ada 2-3 broker terlibat bisnis tanah di Manggarai Barat dan itu terang-terangan tetapi pemerintah masa bodoh.

Minat investor terhadap kepemilikan tanah memang sangat tinggi namun di sisi lain masyarakat kita belum sadar atau mengerti tentang pentingnya tanah termasuk sumber daya alam yang kita miliki.

Banyak tanah-tanah di pesisir Labuan Bajo yang sudah habis dikuasai oleh pemodal dan mereka dengan seenaknya memagari tanah-tanah mereka sehingga menutup akses bagi masyarakat lokal untuk menikmati alam laut. Padahal, pantai merupakan ruang publik yang seharusnya tidak boleh dijadikan milik pribadi. (fmc/bersambung…)

Share :

Baca Juga

Dinamika Daerah

Bupati Lembata Kunjungi Warga Pasca Bencana Erupsi Ile Lewotolok

Dinamika Daerah

Tukang Bangunan Tewas Tersengat Listrik
Kibar bendera di pulau babi

Dinamika Daerah

Penyelam Sikka Kibarkan Merah Putih di Patahan Tektonik
Camat Ile Ape

Dinamika Daerah

Camat Ile Ape Kritik Bangunan Kantor Desa Kolontobo

Dinamika Daerah

Kuasa Hukum Ultimatum Bupati Andreas Agas
Bupati Lembata saat mengikuti ritual adat peletakan batu pertama pembangunan 700 rumah bagi para korban bencana banjir bandang.(foto:Ist)

Dinamika Daerah

Pemda Lembata Siap Bangun 700 Rumah Bagi Korban Bencana
Calon Wakil Bupati Manggarai Barat, dr.Yulianus Weng, M.Kes.(Foto:Flores Merdeka)

Dinamika Daerah

Paket Edi-Weng Berkomitmen Tekan Angka Kematian Ibu dan Anak
Lokasi tanah Kerangan yang dijual belikan oleh para terdakwa.(foto:Ist)

Dinamika Daerah

Lima Terdakwa Kasus Korupsi Tanah Kerangan Diancam Hukuman Bervariasi