Site icon FloresMerdeka

Ketika Harga ‘Satu Kursi’ Semakin Mahal

Ilustrasi. Foto: Radar Cirebon

Oleh  Sil Joni

Popularitas kata ‘kursi’ begitu menanjak ketika disandingkan dengan drama proses kandidasi dalam kontestasi politik seperti Pilkada. Secara denotatip-referensial, mungkin kata itu relatif tidak terlalu diperhitungkan. Sebab kata itu merujuk pada sebuah benda yang dipakai untuk mentahktakan organ pantat manusia.

Nuansa maknanya menjadi lain ketika frase ‘kursi kuasa, kursi DPRD’ terus digelindingkan dalam pelbagai wacana politik yang terkonstruksi dalam ruang publik. Pada musim Pilkada seperti sekarang ini, ungkapan ‘kursi DPRD, kursi partai, merebut kursi sisa’ dan sejenisnya semakin familiar di telinga publik.

Syarat formal pencalonan kepala daerah seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Pemilu dan Peraturan KPU memaksa setiap calon mengerahkan kemampuannya dalam ‘membeli rekomendasi partai yang berhasil meraih kursi di level DPRD. Setiap pasangan calon yang diusung  gabungan parpol mesti minimal 20 persen perolehan kursi legislatif.  Dengan demikian, untuk Manggarai Barat, setiap paslon diusung  koalisi parpol peraih minimal enam kursi.

Praktek pembelian rekomendasi ini sudah menjadi penyakit  kronis dalam partai politik. Kita sering mendengar dan membaca soal ‘isu jual-beli kursi’ parpol dengan harga  sangat fantastis dalam pelbagai pemberitaan media. Ada yang menyebut harga satu kursi dalam pasar politik pencalonan itu berkisar pada angka 200 sampai 500 juta.

Fahmy Badoh dalam buku ‘Korupsi Pemilu di Indonesia’ menyebutkan, candidacy buying atau membeli rekomendasi yaitu politisi berupaya untuk direkomendasikan menjadi calon bupati-wakil bupati dengan cara membayar atau mengiming-imingi elit partai. Proses jual beli rekomendasi ini bermula dari dua belah pihak, baik tawaran dari elit partai maupun calon yang tidak percaya diri karena minimnya kapasitas sebagai kader partai.

Fenomena politik pembelian “kursi” masih menjamur akibat proses seleksi dan penetapan calon oleh partai politik masih jauh dari praktik demokratis dan partisipatif. Selain masih sangat tertutup, faktor lain yang menentukan dalam pencalonan berupa hubungan kedekatan atau perkoncoan antara elit partai, loyalitas calon terhadap faksi tertentu, dan juga kekuatan finansial dari kandidat. Modus-modus tersebutlah yang melanggengkan patronase politik di dalam partai politik. Akibatnya, kandidat yang memiliki kompetensi dan komitmen, namun tanpa dana yang memadai ataupun patron bakal tersingkir.

Dari sisi partai, praktik jual beli rekomendasi bisa menguntungkan sebagai pundi-pundi modal pembiayaan pelbagai aktivitas partai politik. Tetapi, ada juga yang malah disalahgunakan masuk ke kantong elit partai politik saja. Bahkan tidak sedikit, calon yang sudah menggelontorkan uang malah tidak mendapatkan rekomendasi.

Banyak cerita mengenai hal tersebut. Ada calon yang terpaksa ‘gigit jari’ karena sudah menghabiskan miliaran rupiah, namun tidak mendapatkan rekomendasi dari salah satu partai. Akibatnya detik-detik terakhir sebelum KPU tutup pendaftaran, dia disalin oleh kandidat yang berkantong tebal. Kita berharap fenomena semacam ini tidak akan terjadi di Pilkada Mabar kali ini.

“Fenomena politik beli “kursi” masih menjamur, akibat proses seleksi dan penetapan calon oleh partai politik yang jauh dari praktik demokratis dan partisipatif”

Sil joni

Jika dibiarkan terus menerus, hal ini tentunya justru akan menjadi fenomena pembusukan dalam regenerasi politikus di internal partai. Bahkan dampaknya bisa berimbas kepada kebijakan publik yang tidak lagi mementingkan rakyat, namun asal elit partai senang dan menguntungkan.

Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana memberantas praktik candidacy buying ini, apakah sudah ada aturan dalam undang-undang, dan siapa lembaga yang berwenang menangani praktik korupsi politik tersebut? Harus diakui tidak mudah untuk melacak dan apalagi menjerat ‘fenomena politik transaksional’ secara hukum. Bahkan ada kecenderungan praktik jual beli kursi atau SK rekomendasi Parpol menjadi hal lumrah saat ini.

Studi-studi politik kontemporer menunjukkan bahwa ada korelasi  erat antara menjamurnya praktik korupsi oleh para kepala daerah dengan fakta mahalnya biaya demokrasi elektoral. Ongkos Pilkada yang mahal menjadi salah satu sebab mengapa sebagian kepala daerah di Indonesia harus masuk dalam jeruji bui. Besar kemungkinan wewenang dan jabatannya disalahgunakan untuk menutup pengeluaran yang begitu besar saat kontestasi dihelat.

Jika lingkaran setan perilaku koruptif sebagai ekses dari kian mahalnya harga satu kursi dalam proses kandidasi sulit diputus, maka masih relevankan kita bermimpi hadirnya sebuah perubahan total dalam Pilkada kali ini? Apakah kita masih optimis bahwa Pilkada menjadi instrumen menjaring pemimpin yang berintegritas dan berkompeten?

 Penulis  pemerhati masalah sosial dan politik

Exit mobile version